03 Juli 2008

Menebus Hati Nurani

Setelah tidur cukup lama, dia merasa bahwa ada orang masuk ke dalam rumah, dan jelas sekali, bahwa itu bukan suaminya, karena suaminya telah pergi bertugas, dan setiap pulang, dia pasti menyalakan lampu terlebih dahulu, kemudian secara diam-diam baru masuk ke kamar memeluknya sesaat, baru tidur. Karena menderita susah tidur jangka panjang, dan tidur merupakan hal yang sangat sulit baginya, maka selalu saja setelah orang-orang telah lama tertidur, dia masih belum juga tidur. Jelas, orang itu mengira bahwa dia sudah tidur.

Kemudian ia melihat sebuah bayangan, tangannya memegang sebilah pisau, dan mencari sesuatu. Sesaat itu, dia membuka matanya lebar-lebar, dalam hatinya timbul rasa tenang yang aneh, sebab sama sekali tidak boleh berteriak, di sebelah adalah kamar putranya, sekali teriak, maka ia dan anaknya akan bahaya. Ia melihat pencuri itu menjulurkan tangan pada kotak perhiasannya, di dalam kotak perhiasan tersebut ada sepasang gelang giok, yang merupakan emas kawin ketika neneknya menikah, dan diwariskan secara turun-temurun, kemudian diwariskan kepadanya, adalah giok miletia yang paling bagus. Meskipun harganya tidak seberapa, tetapi itu merupakan benda yang paling disayanginya. Dia terus berdiam diri, sampai perampok itu pergi.

Kemudian, dia bergegas ke kamar putranya, dan melihat anaknya yang masih tidur, mengalirlah air matanya, dia merasa bahwa tidak ada yang lebih berharga daripada putranya.

Namun, hal yang tidak diduganya telah terjadi. Pencuri itu telah tertangkap oleh petugas keamanan penjaga pintu, ketika dia memanjat tembok untuk melarikan diri. Si pencuri itu dibawanya ke rumahnya. Di bawah sinar lampu, dia telah melihat wajah pencuri itu. Sebuah wajah yang sangat belia, di wajahnya bahkan masih terdapat bulu-bulu halus, usianya mungkin hanya sekitar lima, enam belasan tahun, ekspresi matanya menampakkan ketakutan.

Penjaga keamanan bertanya, apakah ini gelang Anda nyonya? Dia menjawab, “Ya”. Petugas itu menjelaskan, maling inilah yang barusan mencurinya. Dia jelas mengetahuinya, lalu menengadahkan kepalanya menatap pencuri itu sekilas, dalam sekilas pandang itu membuatnya menjadi bengong, mata pemuda itu, segenap ekspresi matanya meminta, bahkan memohon dengan sangat, dan bahkan putus asa.

Sekilas itu, hatinya mendadak menjadi lembut. Dia mempunyai keputusan baru. Dia berkata, “Kalian lepaskanlah dia, dia bukan pencuri, dan sepasang gelang giok itu adalah saya yang memberikan kepadanya.” Penjaga keamanan itu merasa kaget, dan ekspresi mata pemuda itu juga merasa takjub, mengira waktu berputar kembali, dia tidak pernah mencuri barang milik orang lain.

“Sayalah yang memberikan kepadanya,” nyonya itu mengatakan dengan ikhlas. Pada saat demikian, dia melihat mata pemuda itu menitikkan air mata. Setelah petugas itu pergi, sang pemuda segera berlutut, “Bibi, mengapa Anda menolongku?” Dia tersenyum, dengan nada ringan berkata, “Nak, sebab masa remajamu lebih berharga dibanding kedua gelang itu, saya ingin menggunakan kedua gelang itu untuk menebus arah sanubarimu yang tidak kau temukan. Apalagi, tadi saya sama sekali belum tertidur, karena di tanganmu memegang pisau, maka saya tidak berteriak, juga dikarenakan demi keselamatan putraku.” Air mata pemuda itu mengalir seperti hujan deras.

Sumber: Tabloid Era Baru No. 11 Tahun Ke-1