30 September 2008

Hukuman tanpa Kekerasan

Dr. Arun Gandhi adalah cucu tokoh kemerdekaan India Mahatma Gandhi dan pendiri Lembaga M.K. Gandhi untuk tanpa Kekerasan. Suatu hari ia memberikan ceramah di Universitas Puerto Rico, Brasil dan bercerita bagaimana memberikan contoh menghukum anak tanpa melakukan kekerasan yang dapat diterapkan di sebuah keluarga. Berikut ceritanya:


Waktu itu saya masih berusia 16 tahun dan tinggal bersama orang tua di sebuah lembaga yang didirikan oleh kakek saya, di tengah-tengah kebun tebu, 18 mil di luar kota Durban, Afrika Selatan. Kami tinggal jauh di pedalaman dan tidak memiliki tetangga. Tak heran bila saya dan dua saudara perempuan saya sangat senang bila ada kesempatan bisa pergi ke kota untuk mengunjungi teman-teman, berbelanja atau menonton bioskop.


Suatu hari, ayah meminta saya untuk mengantarkan beliau ke kota guna menghadiri konferensi sehari penuh. Dan, saya sangat gembira dengan kesempatan itu. Ibu memberikan daftar belanjaan yang diperlukan begitu mengetahui saya akan ke kota. Selain itu, ayah juga meminta saya untuk mengerjakan beberapa hal lama yang tertunda, seperti memperbaiki mobil di bengkel.


Pagi itu, setiba di tempat konferensi, ayah berpesan, "Ayah tunggu kau di sini jam 5 sore. Lalu kita akan pulang ke rumah bersama-sama." Segera saja saya menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh ayah. Kemudian, saya pergi ke bioskop. Wah, saya benar-benar terpikat dengan permainan John Mayne sehingga lupa akan waktu. Begitu melihat jam sudah menunjukkan pukul 17:30, langsung saya berlari menunju bengkel mobil dan terburu-buru menjemput ayah yang sudah menunggu saya. Saat itu sudah hampir pukul 18:00.


Dengan gelisah ayah bertanya, "Kenapa kau terlambat?" Saya sangat malu untuk mengakui terlalu asyik menonton film John Mayne sehingga saya menjawab, "Tadi, mobilnya belum siap sehingga saya harus menunggu." Padahal, ternyata tanpa sepengetahuan saya, ayah telah menelepon bengkel mobil itu. Dan, kini ayah tahu kalau saya berbohong. Lalu ayah berkata, "Ada sesuatu yang salah dalam membesarkan kau sehingga kau tidak memiliki keberanian untuk menceritakan kebenaran pada ayah. Untuk menghukum kesalahan ini, ayah akan pulang ke rumah dengan berjalan kaki. Pikirkan baik-baik."


Lalu dengan tetap mengenakan pakaian dan sepatunya, ayah mulai berjalan kaki pulang ke rumah sepanjang 18 mil. Padahal hari sudah gelap, sedangkan jalanan tidak rata. Saya tidak bisa meninggalkan ayah, maka selama lima setengah jam, saya mengendarai mobil pelan-pelan di belakang beliau, melihat penderitaan yang dialami oleh ayah hanya karena kebohongan yang bodoh yang saya lakukan. Sejak itu saya tidak pernah berbohong lagi.


Sering kali saya berpikir mengenai kejadian itu dan merasa heran. Seandainya ayah menghukum saya sebagaimana kita menghukum anak-anak kita dengan amarah atau pukulan, maka apakah saya akan mendapatkan sebuah pelajaran mengenai prinsip tanpa kekerasan? Saya kira tidak. Saya mungkin justru akan menderita atas hukuman itu dan melakukan hal yang sama lagi. Tetapi, hanya dengan satu tindakan tanpa kekerasan yang sangat luar biasa dari seorang ayah, sehingga saya merasa kejadian itu baru saja terjadi kemarin. Itulah kekuatan tanpa kekerasan.


Diadaptasi dari buku "The Power of Nonviolence", karya Dr. Arun Gandhi

21 September 2008

Saya Merasa Bangga Padamu

Hendak mengingat nama seseorang yang kukenal pada 43 tahun silam tidaklah mudah. Saya benar-benar telah lupa nama seorang nyonya tua ketika saya bekerja sambilan mengantar koran saat saya berusia 12 tahun. Namun sebuah pelajaran yang berkaitan tentang kerendahan hati, yang diberikannya pada saya, bagaikan baru terjadi kemarin.


Pada suatu senja di hari Sabtu, saya bersama dengan seorang teman yang berada di sebuah sudut yang tersembunyi di halaman belakang rumah nyonya tua itu melempar batu ke atap rumahnya. Kami bermaksud ingin mengamati bagaimana batu itu meluncur dari atas atap, lalu bagaikan komet yang turun dari langit dan jatuh ke halaman belakang.


Saya mendapatkan sebuah batu yang licin, dan melemparnya ke atas atap. Tetapi karena batunya terlampau licin maka terlepas dari tangan saya, langsung meleset mengenai sebuah jendela yang berada di koridor belakang rumah nyonya tua. Dan seiring dengan suara hancurnya kaca yang bersuara nyaring, kami segera angkat kaki dan berlari kencang, kecepatan larinya bahkan lebih cepat dibanding batu yang meluncur dari atas atap.


Pada malam hari itu, saya takut sekali, takut akan ditangkap oleh nyonya tua itu. Namun beberapa hari kemudian, saat saya pastikan perbuatan saya tidak diketahui, saya mulai merasa sangat menyesal atas kemalangannya. Setiap hari ketika saya mengantarkan koran padanya, ia tetap seperti dulu tersenyum dan memberi salam pada saya, namun saya tidak bisa seperti dulu lagi mengekspresikan diri secara alami di hadapannya. Ada perasaan bersalah dalam hati.


Saya bertekad mengumpulkan uang dari hasil mengantarkan koran. Tiga minggu kemudian, saya telah mempunyai 7 dolar, saya hitung uang ini dapat mengganti kerusakan kaca yang saya pecahkan itu. Saya menyelipkan uang dan selembar memo ke dalam amplop, di atas memo itu dijelaskan saya merasa sangat menyesal atas kacanya yang saya pecahkan, semoga uang ini dapat mengganti kerugian untuk perbaikan kaca jendelanya.


Saya menanti hingga menjelang malam, dan secara diam-diam menuju ke pintu rumahnya, menyelipkan surat di antara celah-celah pintu. Saya merasa batin diri saya bisa tertolong, dan saya sepertinya mendapatkan kebebasan kembali, saya tidak perlu menghindari pandangan mata si nyonya tua itu lagi.


Pada hari ke-2, ketika saya mengantar koran padanya, bisa kembali tersenyum membalas senyumannya yang hangat dan lembut. Ia mengucapkan terima kasih pada saya atas koran yang diantar untuknya, serta mengatakan: “Saya mempunyai sesuatu untukmu”. Dan itu adalah sebungkus roti. Setelah saya berterima kasih padanya, sambil mengantar koran saya menikmati roti yang diberinya.


Setelah makan beberapa keping roti, saya mendapati di dalamnya ada selembar surat. Saya mengambil surat itu. Dan ketika saya membuka amplop surat itu, saya tertegun. Di dalamnya ternyata 7 dolar dan sehelai memo, di atasnya tertulis: “Saya merasa bangga padamu.”


Artikel: Jerry Harpt, www.xinsheng.net

14 September 2008

Ketat pada Diri Sendiri, Murah Hati pada Orang Lain

Fan Zhongxuan dikenal juga sebagai Fan Chunren. Ia adalah putra Fan Zhongyan, seorang politisi bermoral tinggi dan ahli sastra pada masa Dinasti Song Utara (960–1127 Setelah Masehi). Fan Zhongxuan sering mengajar putranya. “Orang bodoh pun sangat tajam saat menegur orang lain, sementara orang yang pandai menjadi tumpul saat ia memaafkan kesalahan sendiri. Bila seseorang dapat menegur diri sendiri sama seperti menegur orang lain dan memaafkan orang lain sama seperti memaafkan diri sendiri, suatu hari ia akan menjadi orang suci.”


Suatu ketika seseorang meminta nasehat Fan Zhongxuan tentang bagaimana seharusnya bersikap. Ia menjawab: “Sederhana adalah satu-satunya jalan untuk melatih rasa hormat dan kejujuran. Murah hati dan pemaaf satu-satunya jalan memperoleh kebaikan dan moral.”


Selama hidupnya, Fan Zhongxuan dikenal tekun mengembangkan moral pribadinya. Ia tidak memilih makanan. Setelah pulang kerja setiap hari, ia segera mengganti pakaian dengan tenunan kasar. Sesungguhnya ia suka menggunakan baju sederhana dari kecil. Kebiasan itu ternyata masih berlanjut sampai ia memperoleh jabatan tinggi dalam pemerintahan.


Banyak orang mengajar anak-anaknya agar ketat terhadap diri sendiri tetapi murah hati pada orang lain, suatu hal yang lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Orang kebanyakan biasanya kalau melihat kekurangan atau kelakuan orang lain yang kurang berkenan, ia akan merasa kesal dibuatnya. Ia ingin mengritik atau memberi pelajaran pada orang itu. Itulah sebabnya mengapa orang bodoh pun menjadi sangat tajam jika mencela orang lain, sementara orang pandai menjadi tumpul bila berbicara tentang kekurangan dirinya sendiri.


Itu sebabnya Fan Zhongxuan menasehati putranya agar senantiasa menegur diri sendiri seperti menegur orang lain dan memaafkan orang lain seperti memaafkan diri sendiri, agar menjadi orang yang bermoral tinggi. Bila melihat kekurangan orang lain, harus ingatkan diri agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Jika dapat senantiasa berbuat demikian, kita dengan cepat dapat meningkatkan moral diri. Adalah senantiasa lebih mudah memaafkan diri sendiri daripada orang lain. Jika dapat memaafkan orang lain seperti memaafkan diri sendiri, kita tidak perlu khawatir tidak dapat menjadi orang bijaksana.


Seringkali kita mencoba menghiasi atau menyembunyikan masalah diri kita dengan argumentasi filosofis. Juga sering kita merasa puas diri jika melihat kelemahan orang lain. Sehingga hampir tidak mungkin membuat kemajuan dalam penempaan moral. Langkah terpenting menempuh perjalanan menempa diri adalah mencoba dengan sungguh-sungguh untuk menemukan kekurangan diri sendiri. Sangatlah mudah belajar filsafat dan menggunakannya sebagai kaca mata untuk menilai dan mengritik orang lain, tetapi sangatlah sulit menggunakan kaca yang sama untuk menilai dan mengadili diri sendiri.


Jika kita mengalami konflik atau gangguan, kita pertama-tama harus senantiasa memperbaiki diri sendiri dan tidak mencari kesalahan orang lain. Bila kita selalu dapat mencari ke dalam dan murah hati serta pemaaf, moral kita akan meningkat dan menjadi teladan bagi orang lain.


Sumber:http://www.minghui.org/mh/articles/2005/8/16/108264.html

07 September 2008

Dipukul Tidak Membalas, Dicaci Juga Tidak Membalas

Ini adalah sepenggal pengalaman seorang murid Minghui School di Bali, dibacakan pada Konferensi Berbagi Pengalaman Kultivasi Falun Dafa di Bali, pada tanggal 10 Agustus 2008.

Nama saya Luh Gede Sri Bakti Asih, usia 13 tahun, kelas III SMP. Saya mendapatkan Fa lima tahun yang lalu bersama orang tua saya.

Beberapa teman sekolah, suka mengejek dan menjaili saya. Selain saya, teman-teman yang lain juga sering mereka kerjain. Saya juga sempat dipalak atau dimintai uang oleh mereka, tapi saya tidak bersedia memenuhi permintaan mereka, kemudian mereka merebut aksesoris saya lalu menghancurkannya. Saya kurang tahu mengapa mereka berbuat begitu kepada saya, mungkin mereka iri terhadap prestasi saya.

Suatu hari saya memakai jaket ke sekolah. Begitu pelajaran dimulai, saya menyimpannya di kolong bangku sekolah. Pada saat bel istirahat berbunyi, saya bersama teman lainnya meninggalkan kelas pergi ke kantin. Namun beberapa teman yang suka usil ini masih ada di dalam kelas. Selain mereka, ada seorang teman lain tidak meninggalkan kelas.

Sekembali dari kantin, saya telah menemukan jaket dan seluruh isi kotak pensil saya hilang. Menurut seorang teman yang tidak meninggalkan kelas, sekelompok teman yang suka usil kepada saya telah membuang isi kotak pensil saya ke semak-semak melalui jendela dan menyembunyikan jaket saya.

Karena saking seringnya saya diperlakukan seperti itu, kesabaran saya saat itu benar-benar habis, saya menangis. Karena tidak bisa membendung rasa marah, saya membentak-bentak mereka, mereka tetap tidak mau mengaku. Setelah bel pulang sekolah berbunyi, mereka akhirnya mengaku dan meminta maaf kepada saya serta mengembalikan jaket yang mereka sembunyikan.

Sampai di rumah, saya menceritakan semua kejadian tersebut kepada ibu. Ibu menegur saya agar lain kali tidak seperti itu lagi. Seharusnya saya berterima kasih kepada mereka, bahkan harus tersenyum saat diperlakukan tidak adil. Setelah kejadian itu, saya mulai bisa memahami dan mengubah sikap saya.

Setelah satu minggu berlalu mereka membuat ulah lagi. Saya diejek oleh mereka dan salah satu dari mereka memukul saya. Lalu saya ingat kata-kata Guru di dalam buku Zhuan Falun bahwa “Dipukul tidak membalas, dicaci juga tidak membalas.” Setelah saya mengingat kata-kata Guru, saya pun mengucapkan terima kasih di dalam hati dan tersenyum kepada mereka. Lalu tanpa disadari mereka meminta maaf kepada saya. Saya tidak menyalahkan mereka, bahkan saya sempat mencari ke dalam, mengapa mereka berlaku seperti itu? Mungkin di kehidupan yang lalu saya pernah memperlakukan mereka seperti itu. Sampai saat ini mereka tidak pernah lagi memperlakukan saya tidak baik. Bahkan mereka yang dulunya sering iri dengan prestasi saya, sekarang malah mendukung saya untuk terus menjadi juara di sekolah.

Sumber: http://minghui-school.net/content/view/185/39/