29 April 2009

Rendah Hati Cara Terbaik Menyikapi Diri Sendiri

Zhang Weiyan adalah seorang pria dari daerah Jiangyin di masa Dinasti Ming (1368 – 1644 SM). Ia adalah seorang yang senang belajar dan sangat berbakat dalam menulis puisi dan prosa. Sebenarnya, ia memiliki reputasi yang baik di antara sastrawan dan pelajar pada masanya. Namun, ia tidak lulus ujian dinas perdata tingkat provinsi saat ia mengikuti ujian yang pertama kali di Nanjing. Ketika ia tidak menemukan namanya dalam daftar kelulusan, ia menumpahkan kemarahannya dan berteriak bahwa si pemeriksa pasti telah buta.


Seorang Taois yang berdiri di dekatnya dengan sebuah senyum memperhatikan tingkah Zhang Weiyan. Zhang lalu melampiaskan kemarahannya kepada Sang Taois. Sang Taois berkata, “Artikel yang anda tulis dalam ujian pastilah buruk.” Zhang menjadi makin marah. Ia berteriak pada Sang Taois, “Kamu bahkan belum melihat artikelku. Bagaimana bisa kamu tahu kalau buruk?” Sang Taois menjawab, “Saya mendengar bahwa seseorang harus memiliki hati yang tenang untuk menulis sebuah artikel yang baik. Sekarang saya melihat Anda memaki-maki si pemeriksa dan mengeluh terus, ini jelas Anda dipenuhi dengan kemarahan. Bagaimana Anda dapat menulis sebuah artikel yang baik?”


Zhang Weiyan segera menyadari, apa yang dikatakan Sang Taois itu benar, maka dengan rendah hati ia meminta saran. Sang Taois berkata, “Berhasil tidaknya Anda menempuh ujian bukan ditentukan dari nasib Anda. Anda harus mengubah diri sendiri.” Lantas, Zhang bertanya, “Jika tidak ditentukan oleh nasib, bagaimana mungkin saya mengubah nasib?” Sang Taois pun menjawab, “Surga yang menciptakan hidup Anda, namun Anda yang menentukan nasib Anda dengan amal perbuatan Anda. Selama Anda berusaha semaksimal mungkin berbuat baik mengumpulkan kebijakan, keberuntungan apa yang tidak akan Anda dapat?”


Belum juga memahami perkataan Sang Taois. Zhang Weiyan bertanya, “Saya adalah seorang berpendidikan yang miskin. Saya tidak memiliki kemampuan dalam hal keuangan untuk melakukan kegiatan amal.”


Sang Taois berkata, “Melakukan perbuatan baik dan mengumpulkan kebijakan keduanya datang dari hati Anda. Selama Anda secara konsekuen melabuhkan harapan ini di dalam hati Anda untuk melakukan perbuatan baik dan mengumpulkan kebijakan, Anda sedang mengumpulkan kebijakan yang tak terhingga. Marilah mengambil kerendahan hati sebagai contoh. Tidak akan merugikan Anda untuk menjadi rendah hati. Mengapa Anda tidak memeriksa diri sendiri untuk melihat apakah Anda telah cukup belajar? Mengapa Anda tidak belajar dari pengalaman ini? Sebaliknya mengapa Anda menuduh si pemeriksa berlaku tidak adil?”


Setelah percakapan dengan Sang Taois, Zhang Weiyan mulai menyingkirkan kesombongannya selama ini. Ia pun lebih berhati-hati setiap saat agar tidak lagi tersesat. Ia berusaha keras untuk mengkultivasi kebaikannya dan melakukan perbuatan baik setiap hari.


Tiga tahun kemudian, Zhang Weiyan bermimpi pergi ke sebuah rumah yang berlokasi di dataran tinggi. Ia melihat sebuah buku yang menuliskan nama-nama orang yang telah lulus ujian dinas perdata. Namun terdapat banyak baris kosong tanpa nama. Ia tidak mengerti mengapa baris-baris itu kosong, maka ia bertanya pada seorang lelaki di dekatnya, “Apa ini?” Lelaki itu menjawab, “Seluruh peserta ujian dievaluasi setiap tiga tahun. Hanya peserta ujian yang telah mengumpulkan banyak kebijakan dan tidak melakukan kesalahan moral akan ditambahkan ke dalam buku ini. Seluruh baris kosong ini ditujukan pada semua orang yang sebenarnya lulus ujian dinas perdata. Namun, mereka akhir-akhir ini melakukan dosa. Konsekuensinya, nama-nama mereka kemudian dihapus dalam buku ini.” Kemudian lelaki tersebut menunjuk pada satu baris kosong, “Selama tiga tahun ini, Anda telah berhati-hati tidak melakukan dosa apapun. Mungkin inilah waktunya untuk mengisi baris kosong dengan nama Anda. Saya harap Anda akan menghargai apa yang telah Anda peroleh dan tidak lagi berbuat kesalahan!”


Zhang Weiyan sungguh-sungguh telah lulus ujian dinas perdata tahun itu di urutan ke 105. Ujian dinas perdata selalu diadakan setiap tiga tahun sekali di Tiongkok.


Sumber: www.pureinsight.org

17 April 2009

Bersyukur Bagian dari Kualitas Moral

Zhu Yongchun (1617-1688) adalah seorang filsuf China yang terkenal. Beliau menulis 506 kata petuah sebagai saran kepada penerusnya. Beberapa kalimat dari petuah tersebut menjadi paling banyak diulang dan dipelajari. Dia berkata “untuk setiap mangkuk yang kamu minum atau setiap butir nasi yang kamu makan, kamu harus ingat seberapa sulit bagi petani untuk menghasilkannya. Untuk setiap helai sutra yang kamu pakai dan setiap benang yang kamu gunakan, kamu harus ingat seberapa sulit orang bekerja untuk membuatnya.” Secara terus-menerus mempertahankan sifat bersyukur di dalam hati kita adalah bagian dari De (substansi putih), dan dasar dari syarat untuk menjadi seorang manusia. Orang yang bahagia akan hidupnya mengerti rasa bersyukur. Ketika seorang dapat merasa bersyukur terhadap bunga, sebatang rumput, gunung dan sebuah genangan air, hidupnya pastilah kaya dan bahagia.


Ada kisah seorang bernama Mr. Stevens, ia tinggal di sebuah kota di Amerika. Dia adalah seorang programmer dan bekerja di sebuah perusahaan perangkat lunak selama 8 tahun. Dia selalu merasa bahwa dia dapat menyelesaikan kariernya di perusahaan itu sampai pensiun. Tetapi secara tiba-tiba perusahaan tersebut bangkrut. Anak ketiganya baru saja lahir dan dia harus segera mencari pekerjaan. Akan tetapi setelah sebulan mencari kerja, dia belum dapat menemukan sebuah pekerjaan. Dia tidak mempunyai keahlian lain selain menjadi seorang programmer.


Akhirnya dia menemukan sebuah perusahaan software yang sedang mencari seorang programmer di surat kabar. Banyak orang telah melamar untuk posisi yang sama, dan persaingan sangat tajam. Setelah melewati wawancara pertamanya, perusahaan itu menyuruhnya untuk mengikuti ujian tertulis seminggu setelahnya. Dengan pengetahuan spesialis-nya, dia melewati ujian tertulis dengan mudah. Dua hari kemudian, dia pergi untuk wawancara selanjutnya. Pada saat dia berangkat, dia sangat yakin bahwa dia dapat melakukannya dengan baik karena bagaimanapun dia adalah seorang programmer yang handal. Akan tetapi pada saat wawancara kerja tersebut, pihak pewawancara tidak menanyakan mengenai pertanyaan teknis. Akan tetapi, mereka bertanya tentang ke manakah arah industri perangkat lunak ini akan berkembang. Dia belum pernah berpikir mendapat pertanyaan seperti itu sebelumnya, dan tidak mempunyai sebuah jawaban yang bagus. Beberapa hari kemudian, dia diberitahu kalau dia tidak mendapatkan pekerjaan tersebut.


Meskipun dia tidak mendapatkan pekerjaan tersebut, Mr. Stevens berpikir bahwa dia telah belajar banyak selama proses wawancara kerja tersebut. Dia memutuskan menulis surat untuk menunjukkan penghargaannya. Dia menulis sebuah surat yang panjang kepada perusahaan tersebut. Dia berkata, “Saya ingin berterima kasih untuk tenaga dan sumber daya lainnya yang telah dipergunakan untuk memberikan kepada saya kesempatan berpartisipasi dalam ujian tertulis dan wawancara. Meskipun saya tidak diterima, melalui proses lamaran kerja ini, saya telah belajar hal-hal baru mengenai industri perangkat lunak. Terima kasih atas segala kerja yang telah kalian lakukan untuk lamaran kerja saya. Sekali lagi terima kasih.”


Perusahaan ini belum pernah menerima surat seperti ini sebelumnya dari seorang pelamar kerja yang tidak diterima. Surat ini disampaikan ke berjenjang-jenjang pemimpin perusahaan tersebut, dan akhirnya sampai ke meja dari presiden perusahaan tersebut. Setelah dia membaca surat tersebut. Dia tidak berkata apa-apa, tetapi menyimpan surat tersebut dalam laci kerjanya


Tiga bulan kemudian, pada saat hari Natal, Mr. Stevens menerima kartu yang indah, sebuah kartu selamat tahun baru. Kartu tersebut dikirimkan oleh perusahaan perangkat lunak di mana Mr. Stevens mengirimkan surat ucapan terima kasihnya. Dalam kartu itu tertulis “Mr.Stevens, kami ingin mengundang Anda untuk merayakan liburan tahun baru bersama kami”. Akhirnya, ketika perusahaan tersebut mencari tenaga kerja baru, presiden dari perusahaan tersebut dengan cepat langsung berpikir kepada Mr. Stevens karena suratnya tersebut.


Perusahaan perangkat lunak tersebut ialah Microsoft Corporation. Setelah bekerja di perusahan tersebut lebih dari 12 tahun, karier Mr. Stevens melejit ke posisi wakil presiden perusahaan.

Meskipun semua orang mengetahui mengenai rasa bersyukur dan berterima kasih adalah sebuah kualitas moral, baik pada masyarakat yang dipenuhi dengan keuntungan materi, dalam sebuah lingkungan di mana kita percaya bahwa uang dapat berbuat segalanya, kita lupa akan rasa bersyukur. Ketika kita bisa melihat segala dengan rasa berterima kasih dan bersyukur, meski ketika kita mengalami kegagalan, hidup ini akan tetap indah dan menyenangkan. Bersyukur adalah rasa yang dalam, dia dapat menguatkan karakter seseorang. Bersyukur adalah awal dari kebahagiaan dan juga puncak dari keberhasilan. Karena dengan bersyukur kita menghargai hubungan yang telah ditakdirkan dan keberuntungan baik. Secara terus menerus mempertahankan rasa syukur akan memberikan keuntungan terbesar tidak saja kepada orang lain, tetapi kepada diri kita sendiri.


Sumber: Tabloid Erabaru, Tahun Ke-3 Edisi 14 (www.erabaru.or.id)

05 April 2009

Buku Harian Ayah

Ayah dan ibu telah menikah lebih dari 30 tahun, saya sama sekali tidak pernah melihat mereka bertengkar. Di dalam hati saya, perkawinan ayah dan ibu ini selalu menjadi teladan bagi saya, juga selalu berusaha keras agar diri saya bisa menjadi seorang pria yang baik, seorang suami yang baik seperti ayah saya. Namun harapan tinggallah harapan, sementara penerapannya sangatlah sulit. Tak lama setelah menikah, saya dan istri mulai sering bertengkar hanya akibat hal-hal kecil dalam rumah tangga.


Malam minggu pulang ke kampung halaman, saya tidak kuasa menahan diri hingga menuturkan segala keluhan tersebut pada ayah. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun ayah mendengarkan segala keluhan saya, dan setelah itu beliau berdiri dan masuk ke dalam rumah.


Tak lama kemudian, ayah mengusung keluar belasan buku catatan dan ditumpuknya begitu saja di hadapan saya. Sebagian besar buku tersebut halamannya telah menguning, kelihatannya buku-buku tersebut telah disimpan selama puluhan tahun. Ayah saya tidak banyak mengenyam pendidikan, apa bisa beliau menulis buku harian? Dengan penuh rasa ingin tahu saya mengambil salah satu dari buku-buku itu. Tulisannya memang adalah tulisan tangan ayah, agak miring dan sangat aneh sekali, ada yang sangat jelas, ada juga yang semrawut, bahkan ada yang tulisannya sampai menembus beberapa halaman kertas.


Saya segera tertarik dengan hal tersebut, mulailah saya baca dengan seksama halaman demi halaman isi buku itu. Semuanya merupakan catatan hal-hal sepele, “Suhu udara mulai berubah menjadi dingin, ia sudah mulai merajut baju wol untuk saya. Anak-anak terlalu berisik, untung ada dia…”


Sedikit demi sedikit tercatat, semua itu adalah catatan mengenai berbagai macam kebaikan dan cinta ibu kepada ayah, mengenai cinta ibu terhadap anak-anak dan terhadap keluarga ini. Dalam sekejap saya sudah membaca habis beberapa buku, arus hangat mengalir di dalam hati saya, mata saya berlinang air mata. Saya mengangkat kepala, dengan penuh rasa haru saya berkata pada ayah, “Ayah, saya sangat mengagumi ayah dan ibu.” Ayah menggelengkan kepalanya dan berkata, “Tidak perlu kagum, kamu juga bisa.”


Ayah berkata lagi, “Menjadi suami istri selama puluhan tahun lamanya, tidak mungkin sama sekali tidak terjadi pertengkaran dan benturan? Intinya adalah harus bisa belajar untuk saling pengertian dan toleran. Setiap orang memiliki masa emosional, ibumu terkadang kalau sedang kesal, juga suka mencari gara-gara, melampiaskan kemarahannya pada ayah, mengomel. Waktu itu saya bersembunyi di depan rumah, di dalam buku catatan saya tuliskan segala hal yang telah ibumu lakukan demi rumah tangga ini. Sering kali dalam hati saya penuh dengan amarah, waktu menulis kertasnya sobek akibat tembus oleh pena. Tapi saya masih saja terus menulis satu demi satu kebaikannya, saya renungkan bolak balik dan akhirnya emosinya juga tidak ada lagi, yang tinggal semuanya adalah kebaikan dari ibumu.”


Dengan terpesona saya mendengarkannya. Lalu saya bertanya pada ayah, “Ayah, apakah ibuku pernah melihat catatan-catatan ini?” Ayah hanya tertawa dan berkata, “Ibumu juga memiliki buku catatan. Dalam buku catatannya itu semua isinya adalah tentang kebaikan diriku. Kadang kala di malam hari, menjelang tidur, kami saling bertukar buku catatan, dan saling menertawakan pihak lain… ha… ha… ha…”


Memandang wajah ayah yang dipenuhi senyuman dan setumpuk buku catatan yang berada di atas meja, tiba-tiba saya sadar akan rahasia dari kebahagiaan suatu pernikahan : Cinta itu sebenarnya sangat sederhana, ingat dan catat kebaikan dari orang lain. Lupakan segala kesalahan dari pihak lain.


Sumber: Zhao Qing/The Epoctimes