22 Maret 2009

Mengasah Lensa Selama Hidupnya

Ada seorang putra pengrajin keranjang di negeri Belanda, setelah lulus dari sekolah menengah, dia memutuskan untuk pergi ke kota kecil terdekat, Delft, untuk melamar pekerjaan di kantor pemerintahan daerah sebagai pengawas. Pemuda ini bekerja dalam bidang yang sama selama lebih dari 6 tahun. Pemuda ini malah memilih menghabiskan seluruh waktu luangnya untuk bekerja keras mengasah lensa sebagai suatu hobi. Karena kegemarannya ini, dia terus saja mengasah dan mengasah lensa selama 6 tahun. Dia begitu asyik dengan pekerjaan ini, dan melakukannya dengan tekun serta teliti. Lama-kelamaan keahliannya dibidang ini telah melampaui para ahli lainnya. Pembesaran yang dihasilkan oleh lensa hasil ciptaannya melebihi buatan para ahli lainnya. Dikarenakan pekerjaan ini pula, dia menemukan jenis dunia baru, dunia mikroorganisme. Untuk selanjutnya, laporan hasil penelitian ini telah menggemparkan dunia. Meskipun dia hanya mengenyam pendidikan sekolah menengah saja, pemuda ini terpilih sebagai seorang akademisi oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Paris. Ratu Inggris bahkan pergi mengunjunginya di kota kecil itu.


Ini adalah sekelumit kisah Antonie van Leeuwenhoek (1632-1732), Bapak Mikrobiologi, yang menjadi ahli terkemuka pada bidang lensa pembesar mikroskop, juga pionir dalam bidang mikrobiologi. Ketelitiannya dalam mengasah setiap lensa dan pengabdian seluruh hidupnya untuk mengerjakan setiap detail yang membosankan bagi orang kebanyakan. Antonie telah menciptakan terobosan ilmu pengetahuan dari pekerjaan detailnya dan membangun sebuah pemandangan yang sangat luas.


Anak muda zaman sekarang seringkali resah berusaha untuk meraih berbagai macam gelar. Mereka tidak begitu lama menekuni dan mendalami hal yang mereka sedang lakukan, dan seringkali malah ingin mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Akan tetapi dapatkah selalu demikian? Setiap bunga memiliki dunianya sendiri dan setiap butir pasir memiliki alamnya sendiri. Lantas yang patut kita renungkan, dapatkah Anda melakukan setiap pekerjaan kecil/remeh dikerjakan dengan kesungguhan hati?


Sumber: The Epoch Times

09 Maret 2009

Hambar Terhadap Kehormatan dan Keuntungan, Membuat Perasaan Lega dan Nyaman

Walaupun banyak orang telah mengetahui bahwa kehormatan dan keuntungan hanyalah ‘hiasan’ hidup belaka, tapi sangat sedikit orang yang dapat terhindar dari jebakannya. Ada yang seumur hidupnya bekerja keras demi kehormatan dan keuntungan, bahkan ada yang hidup demi hal itu.


Seseorang jika tidak dapat memandang hambar pada kehormatan dan keuntungan, maka dia tidak akan bisa mempertahankan kemurnian dari lubuk hatinya. Seumur hidupnya akan seperti “Kua Fu Mengejar Matahari.” Melihat matahari bersinar ke segala penjuru, tapi dia selamanya juga tidak bisa melacak keberadaannya. Pada akhirnya hanyalah keletihan dan kegagalan yang tanpa batas yang akan didapatkan.


Sebenarnya jika dengan hati jernih mengamati dunia materi ini, walaupun tidak sepenuh hati dan tenaga untuk mengejar, sinar matahari juga tetap akan seperti sediakala menerangi tubuh kita.


Ilmuwan yang paling ternama di dunia, Albert Einstein dan Madam Curie, telah menganggap hambar terhadap kehormatan, kekayaan dan kemakmuran yang dikejar-kejar oleh kebanyakan orang. Oleh sebab itu, banyak orang memberi pujian kepada mereka.


Walaupun dia adalah seorang ilmuwan yang bertaraf internasional, tapi Einstein mengatakan bahwa ilmu pengetahuan sebagai pengecualian, selain pengetahuan, tidak ada hal lain yang bisa membuatnya senang ataupun benci secara berlebihan.


Ketika Einstein dalam perjalanan tamasya laut, kapten kapal pesiar yang ditumpanginya, memperlakukan Einstein secara khusus. Sengaja telah menyediakan kamar paling mewah dalam kapal itu untuknya, akan tetapi di luar dugaan ditolak oleh Einstein. Dia menyatakan bahwa dirinya tidak ada perbedaan dengan orang lain, maka dia tidak mau menerima perlakuan khusus tersebut.


Rendah hati, jujur dan berterus terang adalah sifat Einstein yang telah membuat kebanyakan orang mengagumi dirinya dengan setulus hati.


Setelah Marie Curie (Maria Sklodowska-Curie, ahli fisika dan kimia serta peraih Nobel dari Polandia) menemukan Ra (Radium, salah satu unsur atom yang mengandung radioaktif tinggi), surat dari segala penjuru dunia datang untuk bertanya, mereka berharap agar bisa mengetahui cara mengekstrak materi tersebut.


Piere Curie, suaminya, berkata dengan tenang, “Kita harus memutuskan untuk memilih salah satu pilihan dari dua macam cara yang ada. Pilihan pertama adalah mengumumkan hasil penelitian secara terbuka, termasuk penjelasan bagaimana cara mengekstrak.” Marie Curie mengacungkan tangannya sebagai tanda setuju dan berkata, “Ya, tentunya harus begitu.”


Lalu Piere Curie melanjutkan perkataannya, “Pilihan kedua adalah kita harus memposisikan diri kita sebagai pemilik dan pencipta Ra (radium). Tapi kita harus mendapatkan sertifikat hak paten dari teknik mengekstrak tambang uranium dulu, dan memastikan hak yang kita miliki dalam pengusaha Ra seluruh dunia.”


Mendapatkan hak paten berarti mereka akan mendapatkan uang dalam jumlah besar, kenyamanan di dalam hidup, masih bisa menurunkan harta warisan kepada anak cucu. Tapi Marie Curie setelah mendengar perkataan itu dia dengan teguh menjawab, “Kita tidak akan berbuat demikian. Jika kita melakukan hal ini akan melanggar maksud kita semula melakukan penelitian ilmiah.”


Dengan mudah dia telah melepaskan kehormatan dan keuntungan yang berada di depan mata. Sikap hidup yang demikian, membuat semua orang bisa merasakan kelapangan dadanya yang sangat luar biasa. Seumur hidupnya dia telah mendapatkan berbagai jenis medali sebanyak 16 buah, berbagai macam gelar kehormatan sebanyak 117, dia sendiri sama sekali tidak menanggapi.


Suatu hari, ada seorang teman wanita datang bertamu ke rumahnya, ia melihat anak perempuan kecil Marie sedang membuat mainan medali emas yang baru saja diperoleh Marie dari himpunan ilmiah kerajaan Inggris. Wanita itu sangat terkejut, dia lalu bertanya, “Marie, medali itu adalah kehormatanmu yang sangat tinggi, bagaimana bisa kamu berikan kepada anak kecil untuk dibuat mainan?”


Dengan tertawa-tawa Marie Curie menjawab: “Saya menginginkan anak saya sejak kecil sudah mengerti bahwa kehormatan itu seperti halnya sebuah mainan, hanya bisa dipakai untuk permainan, kita tidak akan bisa menjaga benda-benda itu selamanya. Jika tidak, demikian tidak akan ada satupun usaha yang bisa berhasil kita capai.”


Kelapangan dada yang luar biasa dari dua orang pakar ilmu pengetahuan yang telah meninggalkan sebuah cermin terang bagi orang awam yang mati-matian mengejar kehormatan dan keuntungan.


Jika hati seseorang memiliki jiwa yang murni, di dalam pekerjaan yang seharusnya dia kerjakan dia telah menumpahkan seluruh tenaganya, prestasi yang telah dia capai otomatis bisa menonjol keluar, dia sudah selayaknya dan sepantasnya akan mendapatkan kehormatan dalam dunia yang sudah seharusnya didapatkan.


Memandang hambar kehormatan dan keuntungan, tanpa memohon akan mendapatkan sendiri merupakan titik awal jalan menuju kesuksesan bagi seseorang.


Sumber: www.theepochtimes.com

02 Maret 2009

Siapa yang Melukis Ini?

Di Spanyol ada seorang pelukis termashyur bernama Bartolomé Esteban Murillo (tahun 1618 – 1682). Dia seringkali mendapati di atas kain kanvas muridnya, selalu ada sketsa yang masih belum selesai. Gambarannya sangat serasi, sentuhannya amat kaya dan berbakat. Namun sketsa-sketsa tersebut biasanya ditinggalkan pada tengah malam, sementara tidak tahu siapakah yang membuatnya.


Pada suatu pagi, murid-murid Murillo berdatangan ke studio lukis, mereka berkerumun di depan sebuah tiang penyangga lukisan, dengan perasaan yang tak tertahankan mereka mengeluarkan pujian. Di atas kain kanvas terlukis sebuah lukisan, bagian kepala Bunda Maria yang masih belum selesai, goresan garis yang sangat indah, konturnya sangat jelas, gaya goresannya sangat luar biasa.


Setelah melihat sketsa itu, Murillo merasa takjub. Satu persatu murid-muridnya ditanyai, ingin tahu siapa sebenarnya sang pelaku, tetapi semua muridnya dengan menyesal menggelengkan kepala. Murillo mengeluh seraya memuji, ”Orang yang meninggalkan lukisan ini suatu hari kelak bakal menjadi guru besar bagi kita semua.”


Kemudian dia menoleh dan bertanya kepada budak muda yang sedang bergemetaran berdiri di sampingnya, ”Sebastian, siapa yang tinggal di sini pada malam hari?” “Tuan, tidak ada orang lain... kecuali saya.”


“Kalau begitu baik, malam ini kamu harus ekstra perhatian, jika orang misterius ini datang lagi berkunjung dan kamu tidak memberitahukan saya, maka besok kamu akan saya hukum 30 cambukan.” Sebastian membungkukkan badan perlahan, kemudian mundur dengan patuh dan hormat.


Malam hari itu, Sebastian menggelar kasur di depan tiang penyangga lukisan dan tidur dengan nyenyak. Keesokan subuh ketika lonceng berbunyi tiga kali, tiba-tiba dia melompat bangun dari kasur, dan berkata pada diri sendiri, ”Tiga jam ini untuk saya, sisanya semua milik guru pembimbing saya.”


Dia memegang kuas lukis dan duduk di depan tiang penyangga lukisannya, siap untuk menghapus karya yang dia buat semalam. Tangan Sebastian memegang kuas, ketika kuasnya akan menyentuh lukisan itu….mendadak diam terpaku. Dia berseru, ”Tidak! Saya tidak bisa! Mutlak tidak akan saya hapus, biarkan saya menyelesaikan lukisan ini!”


Kemudian dalam sekejap dia telah memasuki alam lukisannya, membubuhi sketsanya dengan warna, sebentar-sebentar dia menambahkan beberapa goresan, lalu dipadukan dengan warna yang serasi dan lembut. Tidak terasa waktu 3 jam telah berlalu, ada suara ringan telah mengusik Sebastian, ketika dia mengangkat kepalanya untuk melihat, Murillo dan para muridnya diam-diam berdiri di sekelilingnya! Cahaya fajar menembus jendela masuk ke dalam ruangan, api lilin masih menyala.


Hari sudah terang, Sebastian masih tetap adalah seorang budak. Pandangan dari semua orang tertuju pada Sebastian, menampakkan ekspresi yang hangat. Dengan sorot mata yang terlihat sedih, Sebastian menatap ke bawah, menundukkan kepala.


Murillo bertanya kepadanya, ”Sebastian siapakah guru pembimbingmu?”

“Adalah Anda, Tuan”

“Yang saya tanyakan adalah siapa guru pembimbing melukismu.”

“Adalah Anda, Tuan.”

“Tetapi saya tidak pernah sekalipun mengajarimu.”

“Betul, tetapi di saat Anda sedang mengajar, saya selalu mendengarkannya.”

“Oh, saya mengerti sekarang, hasil karyamu itu sangat luar biasa!”


Murillo membalikkan badan dan bertanya kepada para muridnya, ”Dia ini seharusnya menerima hukuman atau mendapatkan hadiah?”

“Hadiah, Guru,” para murid itu menjawab dengan cepat.

“Lalu hadiah apakah yang pantas diberikan kepadanya?”


Ada yang mengusulkan memberi satu stel pakaian, ada yang bilang berikan sejumlah uang, kesemuanya ini tak ada satupun yang bisa menggerakkan hati Sebastian. Kemudian ada seorang murid berkata, ”Hari ini hati guru sedang gembira, Sebastian mohonlah untuk kebebasanmu.”


Sebastian mengangkat wajahnya memandang Murillo, ”Tuan, mohon Anda sudi membebaskan ayahku.”


Mendengar perkataan ini, Murillo sangat terharu, dengan perasaan kasih yang mendalam, dia berkata, ”Goresan lukisanmu menunjukkan bakatmu yang luar biasa. Permohonanmu menandakan dirimu memiliki hati yang baik. Mulai sekarang kamu bukan lagi seorang budak dan saya akan mengangkatmu menjadi anak saya…bolehkah? Oh, betapa beruntungnya dirimu Murillo, diluar dugaan telah mendidik seorang pelukis yang luar biasa!”


Hingga saat ini, di antara lukisan-lukisan ternama yang tersimpan di Italia, kita masih bisa menyaksikan banyak sekali karya-karya indah yang digoreskan oleh Murillo dan Sebastian.


Sumber: www.theepochtimes.com