28 Juli 2008

Laki-laki juga Bisa Menangis

Wanita tidak biasa melihat laki-laki menangis, teman saya Ima adalah sebuah contoh yang tipikal. Suatu ketika, dia dan kekasihnya ribut mau berpisah, namun, tak disangka saat itu juga kekasihnya menangis di tempat. Begitu melihat tangisannya, dia menjadi iba, meskipun keduanya berbaikan, namun, di dalam hatinya tetap meninggalkan sebuah kesan yang “jelek”, yaitu kekasihnya “cengeng”, padahal dirinya tidak suka dengan laki-laki tipe begitu.

Belakangan ketika ia mengikuti upacara pemakaman kakek kekasihnya, ia dibuat heran. Sejak kecil kekasihnya tinggal bersama kakek, kasih sayang antara kakek dan cucu sangat dalam. Namun, justru dalam suasana seperti itu, dari awal hingga akhir pemakaman, kekasihnya tidak menitikkan air mata setetes pun, bahkan tampak tegar, sehingga membuatnya bingung.

Setelah pemakaman selesai, tak tahan ia bertanya, “Mengapa kamu tidak menangis? Apa kamu tidak merasa sedih?” Kekasihnya menjawab, “Saya sangat sedih, hanya saja laki-laki tidak gampang meneteskan air mata, kami laki-laki sudah terbiasa menyimpan air mata dalam hati.” Ima mengernyitkan dahinya sambil menyanggah, “Tapi kenapa kamu menangis ketika beberapa hari yang lalu kita ribut mau berpisah?”

Dengan raut wajah tegas sang kekasih mengatakan, “Karena kamu, saya baru berani menitikkan air mata. Kelemahan saya hanya diperlihatkan padamu seorang.” Ima merasa sangat terharu setelah mendengar penuturan kekasihnya. Ternyata laki-laki juga bisa menitikkan air mata pada saat tertentu, mereka ingin mencari sebuah lengan penampung yang lembut. Sebaliknya wanita justru hanya bisa meremehkan laki-laki yang suka menangis, sehingga membuat mereka tidak berani dan juga tidak boleh menangis.

Laki-laki hanya menangis dan memperlihatkan kelemahannya di depanmu, itu menandakan dia percaya padamu, dan dia yakin bahwa di depanmu, dia bisa mewujudkan dirinya yang sebenarnya, tidak takut ditertawakan olehmu. Dengan wajah berseri-seri Ima berkata kepadaku. “Saya pikir, lain kali, jika kekasih saya menangis di depanku, saya akan belajar memberinya sebuah pelukan yang damai di hati.”

Sumber:Mingxin net

Sang Penguasa

Seorang Sultan terkena penyakit parah, yang masih belum diketahui namanya. Beberapa dokter dari Yunani yang khusus didatangkan sepakat, bahwa untuk penyakit tersebut tidak ada obat yang cocok, selain empedu dari seseorang yang memiliki pertanda tertentu.

Sang Sultan memerintahkan untuk mencari orang yang dimaksud, dan akhirnya tanda-tanda yang disebutkan ditemukan pada anak kecil, putra seorang petani. Ayah dan ibunya dipanggil dan diberikan banyak hadiah hingga merasa puas. Hakim memberikan pertimbangannya, bahwa diperbolehkan untuk mengorbankan darah seorang bawahan demi mempertahankan nyawa Sultan.

Ketika tiba saatnya algojo memenggal kepalanya, anak tersebut memalingkan wajah ke langit dan tertawa. “Bagaimana kamu dapat tertawa di saat demikian?” Sultan yang menyaksikan bertanya. Anak tersebut menjawab, “Mengasuh anak dengan kasih sayang adalah kewajiban ayah dan ibu; pertimbangan hukum ditujukan ke hakim, dan keadilan dituntut dari seorang penguasa; tetapi sekarang, demi harta duniawi, ayah dan ibu telah menyerahkan saya pada kematian, hal mana juga telah disetujui oleh hakim, sedangkan Sultan melihat keselamatan dirinya dalam kematian saya; selain kepada Tuhan saya sungguh tidak melihat lagi tempat untuk berpaling.”

Hati Sultan sangat tersentuh, sehingga air matanya mengalir. Sultan berkata, “Lebih baik saya mati, daripada menumpahkan darah anak yang tidak berdosa.” Sultan mencium kepala dan mata anak tersebut, memeluknya erat-erat dan memberikan hadiah yang berlimpah serta membiarkan anak tersebut pulang. Di luar dugaan, pada minggu itu juga Sultan sembuh dari penyakitnya.

Disadur dari: “Golestan” (Kebun Mawar) karya Syekh Saadi Syiras, seorang Sufi dari Persia yang hidup di tahun 1213-1292.

26 Juli 2008

Buah Kebaikan Hati Huang Jianji

Ini adalah kisah klasik yang nyata pada masa Dinasti Song, mengenai seorang yang bernama Huang Jianji.

Zhang Yong, seorang menteri dari Dinasti Tang, pernah mengalami mimpi aneh. Beliau melihat sang raja di Istana Ungu dalam mimpinya. Kemudian seorang lainnya muncul. Beliau diberitahu bahwa orang ini adalah seorang anggota pemerintah tingkat rendah dari wilayah Ximen bernama Huang Jianji. Sang Raja datang menuruni tangga menuju ruang depan istana untuk menyambut Huang Jianji dengan sikap yang sangat hormat. Lalu sang raja mempersilakan Huang Jianji duduk di tempat yang lebih tinggi dari Zhang. Saat terbangun dari mimpinya, Zhang terus memikirkan mimpinya itu namun tidak dapat menebak maknanya.

Di hari berikutnya, Zhang bermaksud menyelidiki Ximen dalam upaya mencari Huang Jianji. Beliau sangat terkejut ketika sungguh-sungguh menemukan seorang anggota pemerintah tingkat rendah dengan nama yang sama. Beliau memanggilnya dan sangat terkejut melihat dia benar-benar sama dengan orang yang dilihatnya dalam mimpi. Beliau bertanya pada Huang Jianji, “Apakah Anda pernah melakukan suatu bentuk amal dalam kehidupan? Mengapa sang raja di istana Ungu dalam mimpiku memperlakukan Anda dengan rasa hormat yang tinggi bahkan menempatkan Anda di sebuah tempat di atasku?”

Huang Jianji berpikir sejenak dan menjawab, “Saya tidak mengira telah melakukan amal yang begitu besar. Seandainya saya memikirkan sesuatu, maka pasti ada sesuatu. Saat musim panen tiap tahun, saya selalu membeli kelebihan beras dan gandum yang tidak dapat dijual oleh petani. Selama tahun-tahun itu saat hasil panen buruk serta harga beras dan gandum melangit, saya akan menjual beras dan gandum itu dengan harga yang sangat murah kepada penduduk miskin. Saya tidak mengambil kesempatan untuk memperoleh keuntungan. Sebagai hasilnya, penduduk di wilayah wewenang saya tidak pernah menderita kelaparan.

Menteri Zhang Yong menarik napas panjang dan berkomentar, “Betapa seorang anggota pemerintah yang patut dipuji. Sungguh ia seharusnya ditempatkan di atasku!” Beliau berjalan ke arah Huang Jianji dan menunduk padanya dengan rasa hormat untuk berterimakasih pada apa yang telah dilakukannya bagi orang-orang. Huang Jianji hidup sampai 100 tahun. Ini adalah sebuah gambaran bahwa manusia dapat mengumpulkan kebajikan dengan melakukan perbuatan amal yang akan membuahkan keberuntungan yang sangat besar.

Terjemahan dari: http://www.pureinsight.org/pi/articles/2005/9/5/3295.html

23 Juli 2008

Upaya Penyelamatan dalam Mimpi

Benarkah mimpi yang kita alami setiap hari itu ada maknanya? Pakar peneliti tidur memberitahu kita, bahwa mimpi itu ada artinya, alam mimpi akan memanifestasikan suasana kehidupan saat itu. Selain itu, tidur bukan saja dapat membantu kita beristirahat. Bahkan dalam pengaruh secara halus dan tak terasa, alam mimpi membantu kita belajar akan arti kehidupan.

Suatu ketika mungkin anda pernah mengalami mimpi yang aneh. Di alam mimpi terus bermunculan bayangan hitam, tidak berdaya melarikan diri di tengah hutan, bahkan pemandangan yang tidak terkait terus bermunculan bagaikan film, pemandangan-pemandangan yang tampak kacau ini, benarkah ada hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari?

Ketika bermimpi, otak besar menangani perasaan, amarah, gelisah, topik seksual, dan lain-lain, hasil penelitian pakar mendapati, bahwa setiap orang rata-rata mengalami lima mimpi saat tidur. Alam mimpi bukan tidak ada maknanya, ia mewakili suasana kehidupan kita saat itu.

Misalnya mimpi ujian di dalam kelas artinya anda sedang menghadapi tantangan besar, mimpi melarikan diri atau terjatuh artinya cemas akan kehilangan kendali atas suatu peristiwa, dengan memahami keadaan anda, mungkin akan dapat membantu anda menangani perasaan.

Memahami suasana dalam mimpi dapat membantu kita menyadari keadaan di sekeliling kita, menyelesaikan konflik dalam kehidupan, ahli terkait menuturkan, bahwa saat tidur, stamina aktivitas otak besar sama seperti di pagi hari, hanya saja tidak ada aktivitas kesadaran.

Bermimpi juga merupakan suatu formulasi pembelajaran, ia dapat membantu kita belajar musik, belajar sepeda dan main catur. Karena itu, jangan lagi mengindahkan tidur anda, bermimpilah yang indah, maka perjalanan hidup anda akan lebih bermakna.

Berikut ini adalah sebuah kisah nyata dan mengharukan yang terjadi di sebuah kota di Polandia, yang berhubungan dengan mimpi.

Seorang gadis remaja bernama Mayna dan pemuda Laosher saling mencintai, namun, Perang Dunia I memisahkan kedua sejoli ini, Laosher masuk tentara dan pergi ke medan perang. Sejak itu, setiap hari Mayna ke gerbang desa menunggu kekasih tercintanya pulang. Tepat sebulan sebelum perang berakhir, tiba-tiba Mayna bermimpi, ia bermimpi Laosher kekasihnya terjepit oleh sebuah batu besar di sebuah gua yang sempit, meskipun telah berusaha sekuat tenaga, namun tetap saja tidak dapat menyingkirkan batu raksasa itu.

Mayna merasa aneh dengan mimpinya, namun, ia juga tidak dapat menjelaskan mengapa, setiap hari ia masih saja ke gerbang desa dan menunggu, namun tak disangka, pada tahun kedua musim panas ia bemimpi lagi dengan mimpi yang sama. Hanya saja dalam mimpi kali ini tampak sebuah benteng, lintasan pegunungan di benteng terhambat oleh batu raksasa yang ambruk, dan dari dalam benteng itu sayup-sayup terdengar teriakan Laosher minta tolong.

Mimpi kali ini memberi firasat pada Mayna, ia merasa Laosher benar-benar berada dalam benteng, akhirnya ia pun pergi mencari benteng itu. Karena tidak dapat menyebut nama benteng tersebut, ia terpaksa mencari di seluruh negeri tanpa tempat yang pasti, orang-orang menganggap Mayna sudah gila, namun, Mayna berkeyakinan teguh dengan firasatnya.

Suatu hari pada bulan April 1920, Mayna datang di sebuah dusun kecil, tiba-tiba ia mendapati ada sebuah benteng di puncak gunung, persis seperti benteng yang ada dalam mimpinya. Tanpa menghiraukan segalanya lagi, ia berlari ke benteng itu. Warga desa sangat takjub dengan usaha Mayna dan turut serta menuju ke luar reruntuhan benteng di puncak gunung itu. Setelah mendengar cerita Mayna, semua orang datang membantu. Dan diluar dugaan, setelah seharian bekerja keras, muncul keajaiban, ternyata sayup-sayup terdengar teriakan seorang laki-laki dari bawah batu. Dengan bergegas semua orang memindahkan batu dan menyelamatkan orang ini, dan orang tersebut memang benar adalah Laosher!

Ternyata, dalam perang yang berkecamuk Laosher menjadikan benteng sebagai tempat persembunyian, namun, tembakan meriam musuh mengenai benteng, sehingga membuatnya terkubur di dalam gua. Untung saja di dalam gua itu ada sumber air dan bahan makanan, begitulah ia bertahan hidup selama 2 tahun di dalam gua.

Sumber: Tabloid Era Baru No. 5 Tahun Ke-3

20 Juli 2008

Tiada Rasa Takut

Sepanjang manusia hidup di dunia, hampir setiap manusia terlahir memiliki rasa takut. Disamping siklus yang tak terelakkan seperti lahir, tua, sakit dan mati, hal-hal seperti lingkungan hidup yang tidak stabil, ketidakpuasan dalam pengembangan karir dan bahkan binatang-binatang yang tidak menyenangkan seperti ular atau kodok dapat menghasilkan ketakutan.

Tetapi, jika pikiran seseorang telah mencapai tingkat yang tinggi, ia dapat memiliki pikiran yang lurus. Ia akan memandang ringan terhadap masalah hidup mati dan tidak takut apapun. Sejak zaman kuno, banyak pejabat-pejabat yang setia, orang-orang berbudi dan kultivator menjunjung pikiran yang lurus maka tidak takut akan hidup dan mati.

Contohnya, Yue Fei membaktikan dirinya untuk negara dengan pengabdian penuh. Menghadapi hukuman mati yang tidak berdasar, ia tidak mengeluh atau menyesal, malah, ia menegakkan kepalanya dan menghadapi hukuman tersebut dengan jantan. Begitu juga selama periode Tiga Negara, ketika Jenderal Guan Yu kalah dalam pertempuran dan tertangkap musuhnya, menghadapi intimidasi dan godaan-godaan, hatinya teguh bagaikan besi dan batu, ia tidak pernah mengkhianati rajanya.

Pada akhir Dinasti Song, Wen Tianxiang (1236–1283 Setelah Masehi) memimpin pasukan Song mempertahankan negaranya terhadap Mongol. Ia tertangkap dan menulis sajak yang sangat terkenal di penjara, Lagu dari Jiwa yang Lurus, ”Jiwa yang lurus menembus surga dan bumi, meskipun ia dapat kasat mata. Pada tingkat paling bawah, sungai-sungai dan gunung-gunung berada. Pada tingkat paling atas, matahari dan bintang-bintang berada. Ketika ia menetap ke dalam manusia, ia menjadikannya orang berbudi. Ketika jiwa lurus seseorang kuat, ia dapat mencapai alam semesta.”

Di hadapan intimidasi dan tawaran yang menggiurkan, Wen Tianxiang memberitahu Khubilai Khan (1215–1294 SM), pencetus dan kaisar pertama dari Dinasi Yuan, ”Kecuali untuk mati, saya tidak dapat berbuat apapun untuk anda.” Dua baris sajaknya yang paling terkenal yang berjudul Menyeberangi Laut yang Sepi, “Sejak dahulu kala, siapa yang dapat diampuni oleh kematian? Saya akan meninggalkan nama harum dalam sejarah!” Telah membangkitkan kekaguman di hati orang-orang terhormat.

Pada masa sekarang, pengacara Gao Zhisheng dihadapkan pada diktaktor komunis yang jahat, dengan tulus membela orang lain yang dilanggar haknya, termasuk para praktisi Falun Gong. Ia telah menyalakan lampu pengharapan bagi orang miskin dan lemah dengan keberanian yang luar biasa. Keberanian, kebaikan hati serta kejujurannya telah membuat dunia menghormatinya.

Artikel: Guan Ming, www.zhengjian.org

18 Juli 2008

Bunga untuk yang Hidup

Ada seorang penjaga makam yang setiap minggu menerima surat dari seorang wanita yang tak dikenalnya, di dalam surat itu terselip uang, untuk membeli seikat bunga segar untuk diletakkan pada pusara putranya. Hal tersebut berjalan cukup lama hingga akirnya pada suatu hari, penjaga makam ini telah menjumpai wanita tua tersebut. Ia duduk di dalam mobil, si sopir bergegas masuk ke rumah kecil penjaga makam itu, bilang: “Nyonya sakit sampai tidak bisa jalan, silakan anda menemuinya sebentar”. Seorang wanita tua yang lemah duduk di dalam mobil, sedikit anggun, namun sorot matanya sudah meredup karena kesedihan, dalam pangkuannya terletak seikat besar bunga segar.

“Saya adalah Ny. Adam, beberapa tahun ini saya setiap minggu mengirimi anda uang…,” ucap nyonya itu lirih. “Untuk membeli bunga, kan?” kata si penjaga makam nyeletuk. Langsung Ny. Adam mengiyakan, “Betul, untuk putraku”. “Saya setiap kali tidak lupa menaruh bunga, nyonya,” ujar penjaga makam. “Hari ini saya datang sendiri”, kata Ny. Adam lirih. Lalu lanjutnya: “Karena dokter bilang saya sudah tidak bisa hidup dalam beberapa minggu lagi. Mati malah lebih baik, hidup juga tidak berarti. Sekarang saya hanya ingin melihat sekilas putra saya, dan meletakkan sendiri bunga-bunga ini.” Si penjaga makam berkata, “Nyonya, beberapa tahun ini anda selalu kirim uang untuk beli bunga, saya selalu merasa sangat menyayangkan.” Ny. Adam bergumam, “Menyayangkan?” Sedang penjaga makam itu melanjutkan dengan polosnya, “Nyonya, kalau bunga diletakkan di sana, beberapa hari juga sudah kering, tiada orang yang menciumnya, tiada orang yang melihatnya, betul-betul sangat sayang.”

Ny. Adam kaget dibuatnya, “Anda sungguh berpikir demikian?” Si penjaga makam memastikan, “Betul nyonya, mohon mengerti. Saya sendiri sering ke rumah sakit, panti asuhan, orang-orang di sanalah yang menyukai bunga. Di sana semuanya orang hidup, akan tetapi di makam ini mana ada yang hidup?” Wanita tua itu tidak menjawab, dia masih duduk lagi sejenak lantas pergi. Si penjaga makam menyesali perkataannya yang terlalu terus terang, sangat kurang pertimbangan, ia kuatir nyonya yang kehilangan anaknya itu tidak tahan karenanya.

Setelah lewat beberapa bulan, wanita tua ini tiba-tiba datang menjenguknya lagi dengan tampilan yang jauh berbeda, membuat si penjaga makam terperangah. Kali ini dia mengendarai sendiri mobilnya. “Saya memberikan bunga-bunga kepada orang-orang di sana,” katanya dengan ramahnya tersenyum kepada si penjaga makam. Lalu lanjutnya, “Perkataan anda betul, mereka begitu melihat bunga sangat gembira, ini betul-betul membuat saya bersemangat. Penyakit saya telah sembuh, dokter tidak paham apa yang terjadi, tetapi saya sendiri paham betul, saya merasa hidup ini masih ada gunanya.”

Sumber: Dajiyuan Edisi 176

16 Juli 2008

Inspirasi dari Sebuah Ember Bocor

Seorang petani memiliki dua tong ember, setiap hari ia pergi ke sungai menimba air dengan sebuah pikulan. Di antara kedua tong ember itu ada satu yang bocor, karena itu setiap kali saat tiba di rumah, isi ember ini selalu hanya menyisakan separo airnya saja, sedangkan ember air yang satunya lagi selalu penuh isinya. Demikianlah, selama 2 tahun, dari hari ke hari, si petani hanya bisa menimba satu setengah ember air setiap hari dari sungai.

Ember yang sempurna tanpa celah itu sangat bangga dengan dirinya yang utuh sempurna dan tanpa cacat, dan tentu saja ember yang bocor itu merasa sangat malu dengan kekurangan dan ketidakmampuan dirinya dalam melaksanakan tugasnya itu. Setelah 2 tahun mengalami kegagalan itu, suatu ketika di sungai, ember yang pecah itu akhirnya memberanikan diri bertanya pada si majikan: “Saya merasa sangat menyesal, sebab di sebelah saya ini ada lubangnya, bocor di sepanjang jalan, dan hanya bisa memikul setengah ember ke rumah.”

Si petani itu lalu menjawabnya, “Apa kamu telah perhatikan? Di sepanjang jalan sebelahmu itu telah tumbuh banyak bunga, sedangkan di sebelah lainnya tidak ada bunga? Sejak awal saya sebenarnya sudah mengetahui kamu bocor, karena itu di sepanjang jalan sebelahmu itu (yang bocor) saya menaburkan bibit bunga. Dan setiap hari dalam perjalanan menuju ke rumah sambil memikul air itu, kamu telah menyirami mereka. Dan 2 tahun sudah, setiap kali saya melewati pinggir jalan itu memetik bunga segar untuk menghiasi meja makan. Jika bukan dikarenakan kekurangan yang kamu maksudkan itu, lalu bagaimanakah saya bisa mempunyai bunga yang demikian segar dan indah untuk menata dan menghiasi rumah saya?”

Seumpamanya setiap orang dari kita ini adalah ember yang bocor itu, masing-masing pasti memiliki kekurangan dan ketidaksempurnaan. Seandainya kita menaruh sebuah hati yang lapang, tahu bagaimana mendapati kelebihan atau keistimewaan orang lain, bahkan bisa memanfaatkan kelebihan dan menutupi kekurangan kita. Maka kehidupan kita pasti akan semakin bermakna.

Sumber: Zhengjian.net

13 Juli 2008

Keteguhan Hati Merupakan Kunci Sukses

Tanpa semangat baja dan keteguhan hati, seseorang tidak akan dapat bertahan. Keteguhan hati adalah kunci sukses dalam segala hal. Seseorang yang hanya memiliki keyakinan jangka pendek cenderung menyerah pada akhirnya. Hanya mereka yang memiliki keteguhan hati yang dapat mencapai sukses.

Cerita berikut ini merupakan gambaran yang bagus. Socrates, seorang ahli filosofi dari Yunani kuno, mengatakan pada murid-muridnya pada hari pertama sekolah, “Hari ini kita akan belajar satu hal saja. Hal yang sangat sederhana. Setiap orang akan mengayunkan lengan ke depan dan ke belakang.”

Setelah mendemonstrasikan latihan mengayunkan lengan, Socrates bertanya pada muridnya untuk mengayunkan lengan mereka 300 kali setiap hari. Lalu dia menanyakannya di kelas, “Apakah kalian pikir semua dapat melakukannya?”

Semua orang tertawa dan berpikir, “Bagaimana mungkin seseorang tidak dapat melakukan hal yang sangat sederhana, hanya mengayunkan lengan? Apa maksud Anda menyuruh kami melakukannya?” Akhirnya semua murid berjanji pada Socrates, mereka akan melakukannya tiap hari.

Sebulan kemudian, Socrates bertanya di kelas, “Adalah hal yang sangat mudah untuk mengayunkan lengan 300 kali setiap hari. Siapa di antara kalian yang telah bertahan untuk melakukannya setiap hari?” Semuanya mengangkat tangan mereka dengan bangga. Sebulan kemudian kembali berlalu. Socrates bertanya lagi pertanyaan yang sama, tapi kali ini hanya 80% dari murid yang mengangkat tangannya.

Setahun kemudian, Socrates menanyakan pertanyaan yang sama, tapi kali ini hanya satu orang murid yang mengangkat tangannya. Murid ini adalah Plato, yang di kemudian hari juga menjadi seorang ahli filosof yang hebat di Yunani kuno.

Inilah prinsip dalam hidup. Bahkan tugas yang paling sederhana di dunia pun memerlukan keteguhan hati, kesabaran dan semangat baja untuk diselesaikan. Keteguhan hati adalah kunci sukses dalam segala hal. Prinsip yang sama berlaku untuk berlatih kultivasi. Hanya kultivator yang dapat bertahan sampai akhir yang dapat mencapai kesempurnaan.

Artikel: Guan Ming, www.zhengjian.org

11 Juli 2008

Hikmah dari Pemulung Sampah

Suatu hari, salah seorang dari pemulung itu datang ke klinik saya. Resepsionis saya Ny. Ann dan saya sendiri terkejut atas kedatangannya. Ann pertama mengatakan dia tersesat dan ingin bertanya arah jalan. Lalu Ann bertanya kepadanya, "Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?" Ia menjawab, "Saya datang ke sini untuk mencari dokter." Di luar dugaan, ia bahkan menyebut nama saya.

Ketika saya mendengar bahwa dia datang ke sini untuk mencari saya, saya merasa ingin menghindar. Pada saat itu, saya ingat bahwa saya telah bersumpah, bahwa saya akan memperlakukan semua pasien dengan sama, tidak jadi masalah apakah orang kaya atau orang miskin, statusnya tinggi atau rendah. Tetapi sekarang ketika seorang pemulung datang kepada saya, saya menolak dan tidak berbuat sesuai dengan sumpah janji saya.

Saya merasa malu pada diri sendiri. Saya berusaha menenangkan diri dan ke luar menemuinya. Saya berbincang-bincang dengannya dan bertanya ada masalah apa dengan dirinya. Segera menjadi jelas bahwa ia bukanlah seorang yang papa, atau seorang tuna wisma. Ia mulai bercerita, "Sebenarnya saya tidak mempunyai kesulitan keuangan. Saya tidak perlu mendapatkan uang dengan memungut sampah. Namun saya menganggap daur ulang barang sebagai pekerjaan saya. Maka setiap hari Senin, saya mengumpulkan dan mendaur ulang alumunium bekas. Pada hari Selasa, saya mengumpulkan dan mendaur ulang gelas/kaca dan plastik bekas. Hari Rabu, saya mendaur ulang koran dan kertas-kertas bekas. Jika setiap orang dengan ketat mengikuti peraturan tentang pendaurulangan barang bekas, dunia ini rasanya akan menjadi lebih baik. Peningkatan lingkungan tergantung pada hal kecil seperti ini".

Ketika saya mendengar apa yang dikatakannya, saya merasa bersalah. Seperti kebanyakan orang sibuk, saya juga membuang sampah tanpa susah payah memilah-milah sampah yang bisa di daur ulang. Karena itulah mengapa ada orang seperti dia melewati hari-hari dengan memungut sampah. Pengalaman hidup menunjukan bahwa orang-orang yang giat membantu orang lain seringkali adalah orang-orang yang tidak anda perhatikan. Jadi anda jangan menilai orang dari pakaian dan penampilan mereka.

Sebagai contoh, suatu hari, pemulung itu terlambat menepati janjinya untuk bertemu dengan saya. Ia datang dengan pakaian basah dan berlumpur. Ia merasa sangat jelek penampilannya. Dia menjelaskan kepada saya bahwa ia baru saja membantu seseorang, mendorong mobilnya yang mogok di pertengahan jalan dan menggesernya ke pinggir jalan. Mobil itu sangat berat, kira-kira 4-5 orang tidak dapat menggerakan mobil tersebut. Kemudian, sebuah kendaraan ikut bagian membantu memindahkan mobil itu. Karena itulah, ia datang terlambat dan terlihat sangat kotor.

Pemulung itu juga lebih suka mengidentifikasi masalah orang lain daripada yang dilakukan rata-rata orang. Misalnya, jika saya bertemu dengan orang yang tersesat dan menanyakan jalan, saya akan mencoba untuk menjelaskan sejelas-jelasnya. Tetapi ketika dia menemukan hal yang sama, ia akan berusaha mengantarkan orang tersebut tanpa ragu-ragu sedikitpun.

Pada suatu hari, sesuatu yang memalukan telah terjadi. Pemulung itu memberi saya dua bingkai lukisan China. Kedua bingkai lukisan itu terbuat dari bambu, terlihat biasa saja dan sangat tua. Dia mungkin menemukannya di tempat sampah. Dia membungkusnya dengan rapi dengan kertas koran. Ketika dia membuka kertas koran dan dengan gembira memperlihatkan lukisan itu, saya merasa sedikit jijik, berpikir bahwa lukisan itu ditemukan di tempat sampah. Saya mencoba menutupi perasaan itu tetapi gagal melakukannya.

Semangatnya menghilang ketika melihat reaksi saya dan dia menjadi sangat kecewa. Dia berbisik kepada saya, "Saya pikir kamu akan sangat senang untuk memiliki seni tradisional dari kebudayaan kita. Mereka lebih berharga dari pada bunga plastik tiruan. Mereka memang terlihat tua, tapi mereka sudah berlayar jauh sekali menyeberangi samudra untuk sampai di sini”. Seketika itu saya menyadari kekeliruan saya, dan berulang-kali minta maaf kepadanya. Ya, tidak hanya kedua lukisan China itu saja yang berlayar menyeberangi samudra untuk sampai di negeri ini, namun saya sendiri juga datang ke sini dengan cara yang sama.

Apapun yang dilakukan, pasien saya yang bekerja memungut sampah begitu menikmati hidupnya. Ia lebih rileks, terlihat bahagia dengan hidupnya. Ia tersenyum dan terlihat ceria setiap kali mengunjungi klinik saya. Saat menunggu, ia tenang dan diam. Kadang-kadang bahkan dia mengetuk-ngetukkan kakinya di lantai saat mengikuti alunan musik yang sedang diputar.

Pada sisi lain, orang-orang kaya, yang dikira mempunyai kehidupan yang sangat baik, hidupnya tidak tenang, selalu khawatir dan gelisah. Saat mendatangi klinik saya, mereka selalu dikejar oleh telepon selulernya. Deringan ponsel berbunyi hampir setiap menit. Sedetik pun tidak mempunyai waktu luang.

Bahagia atau tidak, tidak tergantung pada berapa banyak materi yang kita miliki. Akan tetapi, itu tergantung pada seberapa tinggi tingkat spiritual yang telah kita capai.

Artikel: Xu Yulin, www.pureinsight.org

09 Juli 2008

Suami Istri Sehati

Seorang wanita yang akan segera menikah mengeluh kepada saya, ia mengatakan bahwa meskipun ia dan kekasihnya saling mencintai, namun acap kali tidak bisa sehati. Hanya sedikit masalah sepele, mereka sering sekali bertengkar. Misalnya, janji yang telah disepakati bersama diubah karena mendadak ada hal lain, akan memicu masalah. Karena itu, ia mengeluh, “Jarak sehati kami masih sangat jauh.”

Saling mencintai, apakah pasti akan sehati? Berharap dapat menjalani dengan saling mencintai dan sehati bersama pasangan hidup, semua ini hampir merupakan harapan dari setiap pasangan suami-istri sebelum dan sesudah menikah. Namun pada kenyataannya, baik itu sebelum atau sesudah menikah, meskipun mereka saling mencintai, suatu ketika bentrokan pasti akan datang. Bila kita mendapati ketika orang lain tidak dapat bersama kita secara bersamaan, maka kita merasakan penyesalan yang tidak sehati itu.

Suatu ketika, saya menumpang mobil sebuah keluarga mengikuti sebuah acara reuni, tuan rumah keluarga itu yang mengendarai mobil. Saat istirahat dalam perjalanan, setelah nyonya rumah sendiri membawa anaknya ke toilet, lalu berkata pada suaminya: “Hei, sudah boleh berangkat.” Sang suami tidak menyahut. Nyonya rumah itu, oleh karena dirinya tidak bisa mengendarai mobil, maka sama sekali tidak memahami rasa lelah mengendarai mobil dalam perjalanan jarak jauh. Mengira bahwa istirahat hanya untuk ke toilet saja. Tidak terpikir dalam benaknya bahwa ke toilet adalah salah satu sebab, dan masih ada satu sebab lagi yang juga sangat penting, yakni agar sang sopir dapat istirahat. Maka saya melihat nyonya tidak mendapat respons suami. Lalu secara diam-diam menasihati nyonya rumah itu: “Ia adalah sopir. Ia lebih tahu, kapan waktu istirahat itu baru cukup baginya. Lebih baik kita jangan mendesaknya. Sang nyonya rumah segera paham: Oh, ya! Betul! Betul!”

Saya bisa membayangkan sebelumnya nyonya rumah itu selalu begitu mendesak suami untuk menyanggupi kemauannya. Dan saya juga percaya di kemudian hari nyonya rumah itu tidak akan begitu lagi. Ia sudah memahami bagaimana agar dirinya sejalan dengan suaminya.

Saat baru saja saya menuju ke tempat kerja, pernah menemani sepasang suami-istri terkenal. Waktu itu, atasan saya menyuruh saya mengantar mereka pergi melihat-lihat sebuah lokasi wisata. Ketika memasuki sebuah toko permata. Sang nyonya lama berada di dalam dan lupa pulang. Saya melihat sang suami menemukan sebuat tempat yang tidak begitu ramai, dan berdiri di sana. Karena saya khawatir dia merasa kesepian. Lalu bertanya padanya, “Apakah Anda sudah ingin pergi? Apakah perlu saya bantu untuk memanggil nyonya Anda?” Jawaban yang didapat adalah: “Jangan! Jangan! Jangan mendesaknya.” Satu sisi yang jelas adalah tidak tertarik pada batu permata, namun segala-galanya selalu berpikir untuk orang lain. Menaruh perhatian pada keinginan istrinya. Pemandangan yang mengharukan ini benar-benar menggugah saya yang waktu itu juga sedang pacaran. Ketika suami itu menaruh perhatian pada kegemaran sang istri, ia sedang berusaha memelihara hubungan dengan sang istri.

Lalu, dari manakah landasan suami-istri sehati itu? Menurut pengalaman saya adalah melalui perhatian untuk pihak lain (pasangan kita) dalam segala hal, dan menaruh perhatian untuk keperluannya.

Sumber: Dajiyuan

Orang yang Bisa Memahami Bahasa Burung

Pada zaman dahulu, ada seorang pelajar yang miskin, namanya Gong Ye Chang. Ia memiliki sebuah bakat yang tidak dimiliki orang lain, yaitu bisa memahami bahasa burung.

Duduk di bawah rindangnya pohon, adalah kebiasaan yang dilakukan oleh Gong Ye Chang setiap merasa lelah sehabis belajar. Sambil istirahat menikmati suasana angin yang sepoi-sepoi, ia dengan tenang mendengarkan burung kepodang bernyanyi, burung gereja mempergunjingkan temannya, bahkan ocehan cicak yang banyak mengandung informasi, tentang di mana tempat bermain yang menyenangkan dan tempat yang ada makanan enak, terkadang juga mendengar burung gagak mencaci maki yang lain, atau pertengkaran mulut suami-istri burung kenari benar-benar sangat menarik. Acap kali ia terpukau mendengarnya, dan begitu duduk bisa seharian. Orang lain mengira ia sedang melamun!

Suatu hari, ketika Gong Ye Chang sedang siap membuat masakan di dapur, mendapati di dalam tempayan tidak ada sebutir beras pun, dan ketika sedang risau, seekor murai terbang di luar jendela, dan bertengger di atas sebuah pohon, lalu berkata: “Gong Ye Chang, Gong Ye Chang, di balik gunung ada seekor domba gemuk, kamu makan dagingnya, biar saya makan ususnya!”

Setelah Gong Ye Chang mendengarnya, tidak begitu yakin dengan ucapan murai yang nakal, mengira murai sedang mempermainkan dirinya, maka sama sekali tidak peduli. Setelah murai menunggu sejenak, dan melihat Gong Ye Chang tidak memberikan reaksi sedikit pun, lalu kembali berteriak nyaring: ”Gong Ye Chang, Gong Ye Chang, di balik gunung ada seekor domba gemuk, kamu makan dagingnya, biar saya makan ususnya!”

Akhirnya Gong Ye Chang berpikir, karena tidak ada beras untuk menanak nasi juga, lebih baik melihat dulu apakah memang benar atau bohong perkataan murai itu, maka pergilah ia ke sana. Burung murai terbang di depan menunjuk jalan, dan tidak lama kemudian tibalah di balik gunung itu.

Begitu Gong Ye Chang melihat ternyata memang benar ada seekor domba gemuk yang terluka, dan mati di sana. Dengan gembira ia berkata pada murai: “Kamu benar-benar tidak membohongi saya! Dan saya pasti akan menyisakan ususnya untukmu!” Kemudian dengan menguras seluruh tenaga dibawalah domba gemuk itu pulang ke rumah.

Dengan menggunakan parang, Gong Ye Chang mengiris sepotong-potong daging domba di dapur, burung murai berteriak lagi dengan suara nyaring: “Kamu makan dagingnya, biar saya makan ususnya!” Dengan kesal Gong Ye Chang berkata: “Ya, ya, kamu pergi dulu ke tempat lain, nanti setelah kamu kembali sudah ada usus yang disediakan untukmu!” Setelah burung murai mendengarnya, lalu dengan ceria terbang dan pergi dari sana.

Gong Ye Chang membuat semenu makanan siang yang lezat dari daging domba, dan benar-benar nikmat rasanya. Ia menganggap usus domba menjijikkan, dan lupa semestinya disisakan untuk diberikan pada murai, lantas membuang seluruh ususnya ke sungai. Tidak lama kemudian, burung murai terbang kembali, dan Gong Ye Chang baru ingat semestinya menyisakan usus domba untuk burung murai. Ia segera bergegas pergi ke sungai, namun usus-usus itu sudah menghilang entah ke mana. Dan dengan terpaksa Gong Ye Chang berkata pada burung murai: “Maaf ya, saya sudah membuang usus itu, dan saya benar-benar minta maaf!” Dengan amarahnya burung murai terbang pergi meninggalkannya, dan Gong Ye Chang juga tidak begitu peduli, maka perlahan-lahan lupa akan hal itu.

Musim dingin telah tiba, dan telah beberapa hari secara berturut-turut turun salju lebat, pada hari itu salju telah berhenti, tiba-tiba Gong Ye Chang mendengar ada suara sedang berteriak di luar dapur: “Gong Ye Chang, Gong Ye Chang, di balik gunung ada seekor domba gemuk, kamu makan daging, biar saya makan ususnya!” Begitu ia menyembulkan kepala dan melihat, ternyata lagi-lagi burung murai tempo hari sedang berkata padanya di atas pohon.

Gong Ye Chang sangat gembira, ada lagi daging domba ynag bisa dinikmatinya, lalu segera bergegas mengikuti burung murai pergi ke gunung. Namun, kali ini yang terbaring di puncak gunung bukan lagi seekor domba gemuk, melainkan orang yang mati beku kedinginan. Gong Ye Chang tahu ia telah ditipu oleh murai, sangat marah, namun sejak dini burung murai telah pergi. Ia melihat orang itu sudah tidak bernapas, apa daya, mau tidak mau ia pulang ke rumah.

Sore hari, tiba-tiba dua orang dari pengadilan pergi ke rumah Gong Ye Chang, menangkap dan membawanya pergi. Karena ada orang menemukan orang mati itu di balik gunung, dan ada yang melihat Gong Ye Chang seorang diri pergi ke gunung, lalu turun lagi, karenanya pejabat kabupaten menganggap bahwa orang yang mati di balik gunung itu dicelakai oleh Gong Ye Chang.

Gong Ye Chang membela diri dengan mengatakan: “Ketika saya ke sana, orang itu telah mati!”

Dengan marah pejabat kabupaten mengatakan: “Di musim salju yang lebat, apa yang kamu lakukan di atas gunung sana? Apalagi hanya ada jejak kakimu di atas gunung itu, jika bukan kamu yang mencelakai, lalu siapa?”

Gong Ye Chang tidak berdaya, terpaksa secara terperinci menceritakan pada pejabat kabupaten mengenai perkataan si burung murai, namun pejabat kabupaten sama sekali tidak percaya, ia menggebrak meja dan berkata: “Mana ada orang yang mengerti perkataan burung? Saya telah hidup setua ini, sama sekali tidak pernah mendengar ada hal demikian!” Lalu, pejabat kabupaten memenjarakan Gong Ye Chang.

Gong Ye Chang tahu, bahwa semua ini dikarenakan ia telah lupa menyisakan usus domba yang gemuk pada si burung murai, karenanya burung murai sengaja mencelakainya. Namun, ia juga tidak tahu bagaimana caranya agar supaya dapat membuat pejabat kabupaten itu percaya dengan kata-katanya.

Di dalam penjara begitu rapat dan ketat, hanya terbuka sebuah jendela kecil di atas tembok yang sangat tinggi. Gong Ye Chang melihat acap kali ada burung gereja terbang ke sana kemari di luar jendela, maka sering kali mendengar kata-kata burung gereja di bawah jendela, sehingga dengan demikian, hidupnya juga tidak merasa sedih.

Suatu hari, Gong Ye Chang mendengar seekor burung gereja berkata berisik: “Ayo, semua cepat kemari! Saya beritahu kalian sebuah kabar gembira! Di atas jembatan gerbang timur ada sebuah kereta sapi terbalik yang dipenuhi dengan muatan gabah, gabah-gabah itu bertebaran seladang! Ayo semuanya bergegas makan di sana!” Sambil berkata, segerombolan burung gereja semuanya terbang berlalu menuju ke sasarannya.

Begitu mendengar, Gong Ye Chang lantas segera berkata pada orang yang mengawasinya: ”Segerombolan burung-burung gereja yang terbang pergi itu semuanya hendak ke jembatan gerbang timur untuk makan gabah. Kamu bergegas melapor pada pembesar kabupaten, agar ia mengutus seseorang ke gerbang jembatan timur untuk melihat-lihat, dan jika memang benar-benar ada sebuah kereta sapi terbalik yang dipenuhi dengan muatan gabah, maka bisa membuktikan bahwa saya mengerti perkataan burung.”

Meskipun pejabat kabupaten tidak percaya dengan perkataan Gong Ye Chang, namun tetap mengutus orang pergi ke gerbang jembatan timur untuk melihat-lihat, dan ternyata, di sana memang benar-benar ada sebuah kereta sapi terbalik, dan gabah bertebaran seladang, segerombolan burung gereja sedang bersuka ria berebut mendahului burung lainnya mematuk gabah.

Akhirnya pejabat kabupaten percaya bahwa Gong Ye Chang memang benar-benar mengerti bahasa burung, juga percaya akan cerita mengenai si burung murai, dan setelah mengetahui bahwa orang yang mati di atas gunung itu sama sekali bukan dicelakai oleh Gong Ye Chang, lalu melepaskannya.

Setelah Gong Ye Chang pulang ke rumah, banyak sekali tetanga maupun teman-temannya secara berturut-turut datang menjenguknya. Dengan berkeluh kesah Gong Ye Chang berkata pada semua orang: “Setelah saya dipenjara, telah memahami sebuah kebenaran, yaitu bukan saja harus memegang janji terhadap manusia, bahkan terhadap burung pun harus memegang janjinya!”

Kisah fabel ini tersebar luas. Dalam kisah itu, Gong Ye Chang tidak menepati janjinya terhadap burung, sehingga mendatangkan bencana yang tak terpikirkan, dari kisah ini jelaslah, bahwa terhadap burung pun harus menepati janjinya, apalagi terhadap manusia? Dan dalam realita kehidupan, Gong Ye Chang adalah seorang arif bijaksana, bukan saja murid Konghucu tetapi juga menantunya!

Sumber: www.zhengjian.net

07 Juli 2008

Cinta Kasih Tak Ada Beban

Seorang penganut agama Hindu, berjalan kaki menuju ke kuil suci di gunung Himalaya untuk berziarah. Perjalanan sangat jauh, jalan menuju gunung sangat sulit ditempuh, dan udaranya juga panas, lagi pula bekal yang dibawanya sangat minim. Dari awal perjalanan, dia sudah mengalami kesulitan mendaki, napas tersengal-sengal tak keruan.

Ia berjalan dan sebentar-bentar berhenti, terus memandang jauh ke depan, dengan harapan tempat tujuannya segera tampak di depan mata. Dan tepat di atasnya, ia melihat seorang gadis kecil, usianya tidak lebih dari 10 tahun, menggendong seorang anak kecil yang gendut, juga sedang bergerak perlahan ke depan. Napasnya terengah-engah, dan terus mengeluarkan keringat, namun sepasang tangannya tetap memegang erat bocah di punggungnya.

Penganut agama Hindu melewati samping gadis kecil itu, dan dengan sangat simpati berkata pada gadis kecil: “Anakku, kamu pasti sangat lelah, demikian beratnya kamu menggendong!”

Mendengar ucapan itu, dengan rasa tidak senang si gadis berkata: “Yang kamu gendong justru sebuah beban, akan tetapi yang saya gendong bukan sebuah beban, dia adalah adikku.”

Memang benar, di atas timbangan, baik itu bekal yang dibawa penganut Hindu maupun adik yang digendong adalah beban, tidak ada bedanya sama sekali, dan ini memperlihatkan beban yang sesungguhnya, namun secara naluri, sedikit pun tidak salah dengan apa yang dikatakan oleh gadis kecil itu, yang ia gendong adalah sang adik, bukan sebuah beban, dan yang berat itu barulah merupakan sebuah beban.

Cinta kasih seorang gadis kecil terhadap adiknya adalah berasal dari lubuk hatinya yang paling dalam. Cinta kasih tiada beban, dan cinta kasih itu bukan beban, melainkan suatu perhatian yang menggembirakan dengan pengorbanan tanpa pamrih dan penuh cinta kasih.


Sumber: Tabloid Era Baru No. 24 Tahun Ke-1

05 Juli 2008

Toleransi, Batas Akhir Cinta

Seorang wanita memiliki pria idaman lain (PIL), ia ingin bercerai dengan suaminya. Kenyatannya sang suami tidak setuju, sehingga sang istri membuat keributan terus sepanjang hari. Dalam ketidakberdayaan, suami terpaksa menyetujui permintaan si istri. Dengan syarat, sebelum cerai, suaminya ingin bertemu dengan pria idaman istrinya. Sang istri segera menyetujui. Pagi-pagi sekali ia membawa seorang lelaki setengah umur yang tinggi besar dan gagah ke rumahnya.

Si istri mengira suaminya pasti dengan amarah yang meluap-luap akan menyuruh orang memberi pelajaran begitu bertemu dengan teman lelakinya. Namun, sang suami tidak melakukan itu, malah dengan sikap yang berwibawa, dia bersalaman dengan lelaki itu. Setelah itu, ia mengatakan bahwa dia sangat ingin berbincang-bincang dengan teman lelakinya, dan meminta kepada istrinya untuk menyingkir sebentar. Sang wanita menuruti anjuran suaminya. Berdiri di luar pintu, dalam hati wanita itu merasa tidak tenang, takut kedua lelaki itu akan berkelahi.

Kenyataan membuktikan, bahwa kecemasannya sama sekali berlebihan. Beberapa menit kemudian, kedua lelaki tanpa terjadi sesuatu apa pun berjalan keluar, dalam perjalanan mengantar teman lelakinya pergi, dengan tak tahan sang wanita segera bertanya: “Apa yang telah dibicarakan suamiku denganmu? Apakah membicarakan yang tidak-tidak tentang diriku.” Dengan menyayangkan dia menggeleng-gelengkan kepala sambil mengatakan: “Kamu sangat tidak memahami suamimu, seperti aku tidak memahami dirimu!” Setelah si wanita selesai mendengarnya, segera membantah dengan mengatakan: “Bagaimana saya tidak memahami akan dirinya, ia kaku, tidak humoris, pengurus rumah tangga yang benar–benar tidak seperti seorang lelaki.” Pria itu menyela, “Jika kamu begitu memahami akan dirinya, kamu seharusnya tahu apa saja yang telah dibicarakannya denganku.”

“Apa yang telah dikatakan?” tukas wanita itu penasaran. “Dia mengatakan bahwa jantungmu kurang sehat, gampang marah, setelah nikah, menyuruhku supaya segalanya menurut kehendakmu. Dia juga mengatakan bahwa lambungmu tidak baik, tapi suka makan yang pedas, mewanti-wanti kepadaku agar sejak sekarang menasihati kamu supaya mengurangi makan yang pedas-pedas,” ujar pria itu.

“Hanya ini saja.” Sang wanita sedikit terkejut.

“Ya, hanya ini saja, tidak ada lainnya,” sambung pria itu.

Selesai mendengar, sang wanita perlahan-lahan menundukkan kepalanya. Si lelaki berjalan ke depan, membelai rambut wanita itu, dan dengan sungguh-sungguh mengatakan: “Suamimu adalah seorang lelaki yang baik, ia lebih lapang dibanding dadaku. Kembalilah, dialah orang yang benar-benar pantas kamu cintai, dia lebih memahami bagaimana mencintaimu dibanding dengan diriku atau lelaki lainnya.” Sejak saat itu, wanita itu sudah tidak pernah lagi menyinggung kata-kata cerai lagi, sebab ia telah memahami, bahwa suaminya adalah yang terbaik.

Sumber: Dajiyuan

03 Juli 2008

Menebus Hati Nurani

Setelah tidur cukup lama, dia merasa bahwa ada orang masuk ke dalam rumah, dan jelas sekali, bahwa itu bukan suaminya, karena suaminya telah pergi bertugas, dan setiap pulang, dia pasti menyalakan lampu terlebih dahulu, kemudian secara diam-diam baru masuk ke kamar memeluknya sesaat, baru tidur. Karena menderita susah tidur jangka panjang, dan tidur merupakan hal yang sangat sulit baginya, maka selalu saja setelah orang-orang telah lama tertidur, dia masih belum juga tidur. Jelas, orang itu mengira bahwa dia sudah tidur.

Kemudian ia melihat sebuah bayangan, tangannya memegang sebilah pisau, dan mencari sesuatu. Sesaat itu, dia membuka matanya lebar-lebar, dalam hatinya timbul rasa tenang yang aneh, sebab sama sekali tidak boleh berteriak, di sebelah adalah kamar putranya, sekali teriak, maka ia dan anaknya akan bahaya. Ia melihat pencuri itu menjulurkan tangan pada kotak perhiasannya, di dalam kotak perhiasan tersebut ada sepasang gelang giok, yang merupakan emas kawin ketika neneknya menikah, dan diwariskan secara turun-temurun, kemudian diwariskan kepadanya, adalah giok miletia yang paling bagus. Meskipun harganya tidak seberapa, tetapi itu merupakan benda yang paling disayanginya. Dia terus berdiam diri, sampai perampok itu pergi.

Kemudian, dia bergegas ke kamar putranya, dan melihat anaknya yang masih tidur, mengalirlah air matanya, dia merasa bahwa tidak ada yang lebih berharga daripada putranya.

Namun, hal yang tidak diduganya telah terjadi. Pencuri itu telah tertangkap oleh petugas keamanan penjaga pintu, ketika dia memanjat tembok untuk melarikan diri. Si pencuri itu dibawanya ke rumahnya. Di bawah sinar lampu, dia telah melihat wajah pencuri itu. Sebuah wajah yang sangat belia, di wajahnya bahkan masih terdapat bulu-bulu halus, usianya mungkin hanya sekitar lima, enam belasan tahun, ekspresi matanya menampakkan ketakutan.

Penjaga keamanan bertanya, apakah ini gelang Anda nyonya? Dia menjawab, “Ya”. Petugas itu menjelaskan, maling inilah yang barusan mencurinya. Dia jelas mengetahuinya, lalu menengadahkan kepalanya menatap pencuri itu sekilas, dalam sekilas pandang itu membuatnya menjadi bengong, mata pemuda itu, segenap ekspresi matanya meminta, bahkan memohon dengan sangat, dan bahkan putus asa.

Sekilas itu, hatinya mendadak menjadi lembut. Dia mempunyai keputusan baru. Dia berkata, “Kalian lepaskanlah dia, dia bukan pencuri, dan sepasang gelang giok itu adalah saya yang memberikan kepadanya.” Penjaga keamanan itu merasa kaget, dan ekspresi mata pemuda itu juga merasa takjub, mengira waktu berputar kembali, dia tidak pernah mencuri barang milik orang lain.

“Sayalah yang memberikan kepadanya,” nyonya itu mengatakan dengan ikhlas. Pada saat demikian, dia melihat mata pemuda itu menitikkan air mata. Setelah petugas itu pergi, sang pemuda segera berlutut, “Bibi, mengapa Anda menolongku?” Dia tersenyum, dengan nada ringan berkata, “Nak, sebab masa remajamu lebih berharga dibanding kedua gelang itu, saya ingin menggunakan kedua gelang itu untuk menebus arah sanubarimu yang tidak kau temukan. Apalagi, tadi saya sama sekali belum tertidur, karena di tanganmu memegang pisau, maka saya tidak berteriak, juga dikarenakan demi keselamatan putraku.” Air mata pemuda itu mengalir seperti hujan deras.

Sumber: Tabloid Era Baru No. 11 Tahun Ke-1

02 Juli 2008

Belenggu Nafsu Manusia

Ada seorang Taois yang menempa diri menahan nafsu, bersiap-siap meninggalkan desa tempat tinggalnya, pergi ke gunung yang tidak berpenghuni untuk mengasingkan diri berkultivasi. Dia hanya membawa sepotong kain sebagai pakaian, lalu sendirian pergi ke gunung dan menetap di sana. Kemudian terlintas dalam benaknya saat ia ingin mencuci pakaiannya, dia perlu sepotong kain lain sebagai pengganti, lalu dia turun gunung menuju desa, dan minta sedekah sepotong kain sebagai pakaian pengganti kepada orang-orang desa, semua orang desa mengetahui dia adalah seorang Taois yang jujur dan taat, lalu tanpa ragu-ragu memberikannya sepotong kain.

Ketika Taois ini kembali ke gunung, dia menyadari bahwa di dalam pondok yang ditempatinya ada seekor tikus, sering kali saat dia sedang meditasi datang menggerogoti pakaiannya yang disiapkan sebagai pengganti itu, sejak dulu dia telah bersumpah seumur hidup akan menaati disiplin, pantang membunuh makhluk hidup, oleh karenanya dia tidak mau melukai tikus itu, namun dia tidak mempunyai cara untuk mengusir sang tikus, maka dia kembali ke desa, meminta seekor kucing pada warga desa untuk dipelihara.


Setelah mendapatkan kucing, dia lalu teringat: Harus makan apa kucing itu? “Aku sama sekali tidak menginginkan kucing memakan tikus, namun tidak mungkin sama sepertiku hanya makan buah dan tumbuhan liar
kan!” Lantas dia kembali meminta seekor sapi perah pada warga desa, dengan demikian kucing itu dapat menyandarkan hidupnya pada air susu sapi itu.

Akan tetapi, setelah beberapa waktu tinggal di gunung, dia menyadari bahwa setiap hari harus membuang banyak waktu untuk merawat dan memberi makan rumput pada sapi betina itu, dia lalu kembali lagi ke desa, menemukan seorang gelandangan miskin, kemudian membawa gelandangan yang tidak mempunyai tempat tinggal ini ke gunung, memberinya tugas merawat sapi perah.


Setelah gelandangan ini tinggal beberapa waktu di gunung, dia berkeluh kesah pada Taois: “Saya dan Anda tidak sama, saya membutuhkan seorang istri, saya ingin kehidupan keluarga yang normal.” Taois merenungi ada benarnya juga yang dikatakannya, dia tidak boleh memaksa orang lain harus sama seperti dirinya, melewati hidup menempa diri menahan nafsu.


Demikianlah kisah ini terus berkembang, dan Anda mungkin telah mengetahuinya, yang mana pada akhirnya, mungkin setelah setengah tahun kemudian, segenap warga desa semuanya telah pindah ke gunung. Ini sebenarnya kisah yang persis terjadi pada kita setiap orang. Nafsu atau keinginan itu seperti sebuah rantai, saling bertautan, selamanya tidak dapat mencukupi. Namun yang benar-benar menyedihkan adalah: Manusia yang tidak menemukan dalihnya sama sekali tidak cemas pada nafsu sendiri.

Sumber: Mingxin.net