07 Juli 2008

Cinta Kasih Tak Ada Beban

Seorang penganut agama Hindu, berjalan kaki menuju ke kuil suci di gunung Himalaya untuk berziarah. Perjalanan sangat jauh, jalan menuju gunung sangat sulit ditempuh, dan udaranya juga panas, lagi pula bekal yang dibawanya sangat minim. Dari awal perjalanan, dia sudah mengalami kesulitan mendaki, napas tersengal-sengal tak keruan.

Ia berjalan dan sebentar-bentar berhenti, terus memandang jauh ke depan, dengan harapan tempat tujuannya segera tampak di depan mata. Dan tepat di atasnya, ia melihat seorang gadis kecil, usianya tidak lebih dari 10 tahun, menggendong seorang anak kecil yang gendut, juga sedang bergerak perlahan ke depan. Napasnya terengah-engah, dan terus mengeluarkan keringat, namun sepasang tangannya tetap memegang erat bocah di punggungnya.

Penganut agama Hindu melewati samping gadis kecil itu, dan dengan sangat simpati berkata pada gadis kecil: “Anakku, kamu pasti sangat lelah, demikian beratnya kamu menggendong!”

Mendengar ucapan itu, dengan rasa tidak senang si gadis berkata: “Yang kamu gendong justru sebuah beban, akan tetapi yang saya gendong bukan sebuah beban, dia adalah adikku.”

Memang benar, di atas timbangan, baik itu bekal yang dibawa penganut Hindu maupun adik yang digendong adalah beban, tidak ada bedanya sama sekali, dan ini memperlihatkan beban yang sesungguhnya, namun secara naluri, sedikit pun tidak salah dengan apa yang dikatakan oleh gadis kecil itu, yang ia gendong adalah sang adik, bukan sebuah beban, dan yang berat itu barulah merupakan sebuah beban.

Cinta kasih seorang gadis kecil terhadap adiknya adalah berasal dari lubuk hatinya yang paling dalam. Cinta kasih tiada beban, dan cinta kasih itu bukan beban, melainkan suatu perhatian yang menggembirakan dengan pengorbanan tanpa pamrih dan penuh cinta kasih.


Sumber: Tabloid Era Baru No. 24 Tahun Ke-1