28 Juni 2009

Anda dari Kota Mana

Ada seorang kakek yang sering duduk di bangku dekat suatu pom bensin, dan suka memberi salam kepada orang-orang yang lewat. Suatu hari, cucu perempuannya turut menemani di samping kakeknya.


Saat mereka berdua sedang duduk di situ, datang orang asing (dari luar kota) sedang mencari informasi ingin bertempat tinggal di daerah ini. Orang asing mendekati dan bertanya pada kakek, Bagaimana keadaan di kotakota mana?” ini?” Kakek tua itu balik bertanya, ”Anda datang dari


Orang asing itu menjawab, “Saya tinggal di tempat yang mana orang-orangnya suka mengritik orang dan tetangga pun suka ngobrol tak keruan. Pokoknya daerah itu sangat tidak baik, aku ingin sekali meninggalkan tempat itu.” Kakek yang duduk di kursi berkata pada orang asing itu, ”Aku beritahukan Anda sebetulnya di sini juga hampir sama.”


Tidak lama kemudian, datang sebuah mobil yang terisi penuh sekeluarga berhenti di depan kakek dan cucunya yang sedang duduk. Seorang ibu membawa dua anak kecil turun dan bertanya, “Di mana letak toilet?” Suami ibu tadi juga ikut turun dari mobil, dan bertanya pada kakek, “Baikkah kota ini?”


Kakek tua itu kembali bertanya, “Bagaimana daerah tempat tinggal Anda?” Bapak itu berkata, ”Kota yang saya tempati sangat baik, tetangga-tetangga bersifat baik, suka saling membantu, suka memberi salam, saya juga tidak ingin berpisah dengan daerah itu.” Kakek tua melihat bapak itu dan tersenyum, “Sebetulnya di sini juga hampir sama.” Mereka balik ke mobil dan berterima kasih pada kakek lalu pergi.


Jawaban sang kakek yang mendua, tentu saja membuat cucunya terheran-heran. ”Kek, mengapa kepada orang yang pertama itu kakek bilang tempat ini sangat jelek, sebaliknya kakek memberi tahu orang yang kedua itu bahwa tempat ini sangat baik?” Kakek dengan sabar menjelaskan, ”Walau kamu pindah ke mana pun, kamu akan tetap membawa sifat diri sendiri, tempat itu baik atau tidak, ini semua tergantung diri sendiri.”


Artikel: Lin Ju Ming/Tabloid Era Baru, Tahun Ke-1 No. 6

14 Juni 2009

Mulut yang Arif

Kata-kata yang terucap keluar, air yang terpancar keluar. Lidah tajam melukai orang, melebihi tajamnya mata pisau membuat orang tidak sanggup menahannya. Dongeng maupun petuah orang kuno sudah sering memperingatkan kita, berhati-hati dalam mengucapkan kata, jangan memamerkan kepandaian bicara, terutama memutar balik fakta, merusak nama orang dengan perkataan keji, membuat fitnah mengadu domba, adalah perbuatan yang merusak moral sendiri, perbuatan yang dihindari oleh manusia sejati.


Yang dikatakan oleh orang dulu sebagai memupuk moral dengan berbuat baik, sungguh suatu akal sehat yang bermakna dalam. Terutama adalah memupuk moral dalam berbicara, suatu perbuatan yang tidak mudah. Luwes dalam berbicara, tidak saja mendatangkan harapan dan keyakinan bagi orang lain, juga mencitrakan moral diri sendiri, siapa yang tidak ingin melakukannya.


Yang berbicara tidak mempunyai suatu tujuan, yang mendengar menangkap arti. Suatu perkataan yang awalnya tanpa tujuan, mungkin dapat menghancurkan seseorang, juga mungkin dapat menolong seseorang. Satu patah kata dapat membangkitkan suatu negara, satu patah kata bisa meruntuhkan suatu negara, sudah banyak contohnya sepanjang sejarah. Tetapi dalam masyarakat yang pandir, senantiasa terjadi perbuatan “celaka datang dari mulut,” sehingga kesulitan datang bagai ombak yang menerjang, kesalahan diulang seumur hidup, dikarenakan oleh sebuah mulut yang tidak bermoral!


Prinsip-prinsip demikian, bahkan seorang anak kecil pun tahu. Tetapi, banyak orang yang sudah menghabiskan separuh umurnya pun, masih saja berbuat kesalahan dengan sengaja. Lihatlah media massa yang belakangan ini sering mengetengahkan “kata-kata kasar” yang riuh rendah, apakah pernah terbersit dalam pikiran Anda, bahwa Anda pun melakukan kesalahan yang sama?


Sumber: Tabloid Era Baru, Tahun Ke-1 No. 4