22 Februari 2009

Socrates Tercebur Dalam Air

Socrates (469—399 SM), filsuf dari Yunani kuno, juga merupakan salah satu pendiri Filsafat Barat. Pandangan Socrates sangat mempengaruhi Plato (salah seorang murid Socrates) dan Aristoteles (murid Plato). Keduanya merupakan ilmuwan dan filsuf Barat yang terkemuka sepanjang zaman.


Suatu hari, Socrates hendak menyeberangi sebuah sungai. Karena kurang hati-hati, ia terperosok ke dalam kubangan yang dalam. Ia tidak bisa berenang dan terpaksa hanya meronta-ronta sekuat tenaga di dalam air sambil berteriak minta tolong.


Saat itu, ada seseorang yang sedang memancing di tepi sungai. Mendengar suara teriakan Socrates, bukannya mengulurkan tangan untuk menolong, sebaliknya malah menyimpan kail, lalu berdiri dan pergi. Beruntung murid-murid Socrates datang tepat pada waktunya dan berhasil menyelamatkan jiwa sang Guru.


Seketika itu juga murid-muridnya mengganti pakaian Socrates yang basah, dan serempak mengutuk si pemancing sebagai orang yang bermoral rendah, tidak mau menolong orang yang sedang dalam bahaya.


Tak lama berselang, pemancing itu ketika hendak menyeberang sungai, karena kurang hati-hati juga terperosok ke dalam kubangan air yang dalam. Ternyata orang itu juga sama sekali tidak bisa berenang, dan hanya bisa berteriak meminta tolong sambil meronta-ronta sekuat tenaga.


Sungguh kebetulan, Socrates bersama dengan murid-muridnya sedang berjalan di tepi sungai dan mendengar suara teriakan minta tolong si pemancing tersebut. Mereka pun bergegas berlari mendekat, dan dengan menggunakan sebatang bambu yang panjang mereka menolongnya.


Setelah mengetahui wajah orang yang mereka tolong, para murid Socrates merasa sangat menyesal dan berkata, ”Jika tahu yang jatuh ke dalam sungai itu adalah orang itu, bagaimana pun juga kami tidak akan menolong dia!”


Socrates membantu menggantikan pakaian orang tersebut yang telah basah, lalu dengan tenang Socrates berkata, ”Tidak. Kalian justru harus menolong dia! Inilah perbedaan antara dia dan kalian semua.”


Sumber: www.mingxin.net / Era Baru

15 Februari 2009

Seorang Ibu dan Seorang Guru

Saya bekerja di sebuah sekolah Taman Kanak-kanak, dan mendapat fasilitas yang istimewa, yaitu setiap hari boleh membawa “bayi kecilku”. Peranku setiap saat dapat berubah-ubah, sesaat menjadi ibu seorang anak, sesaat lagi menjadi guru. Jadi kisah hidupku menjadi lebih beragam….


Suatu pagi ketika saya hendak membalikkan tubuh meninggalkan anak saya, saya melihat matanya terus menatap saya dengan kelopak mata yang penuh air mata, tetapi belum sampai menetes. Entah mengapa saat itu saya juga tidak bisa menguasai diri, tak terasa air mataku mengalir keluar. Melihat dia masih begitu kecil berdiri di sana, maka saya tak kuasa menahan air mata.


Setelah cukup lama bergulat dengan perasaan ini, dengan memaksakan diri, saya kembali ke kelas tempat saya mengajar, akan tetapi perasaan ini berubah perlahan menjadi tenang kembali. Kebetulan di dalam kelas, ada seorang anak sedang menangis dan menarik tangan ibunya, si ibu itu serba salah, pergi meninggalkan salah, tidak pergi juga salah.


Apabila hal ini terjadi dahulu, dalam hati sedikit banyak pasti ada perasaan jengkel dan rasa menyalahkan ibu dan anak. Tetapi kini, saya bisa memahami perasaan ibu itu. Lalu saya maju menghampiri mereka, dengan perlahan-lahan saya angkat anak laki-laki itu, lalu saya dekap dalam pelukan, dengan suara pelan saya menenangkannya. Si anak masih terus menangis, tetapi sang ibu sudah bisa melepaskan tangannya dan pergi, sebelum pergi si ibu memandang saya dengan penuh terima kasih. Saya mengerti, dia juga mengerti. Dalam sekejab itu perasaan sesama ibu bisa saling mengerti.


Sekolah Taman kanak-kanak di Selandia Baru selama ini terkenal karena teknik pengajarannya lebih hidup dan penuh semangat. Kami sebagai guru, tanggung jawab kami juga tidaklah ringan, tidak hanya mengurusi sandang pangan, akan tetapi masih harus mengerjakan setumpuk laporan pekerjaan.


Setiap hari dari pagi hingga malam tidak bisa santai, kadang juga dibuat pusing kepala oleh anak anak. Anak berusia 3 – 4 tahun biasanya berlari ke sana kemari, kadang-kadang bisa terjatuh, dan tidak dapat dihindari harus melihat ekpresi wajah orang tua murid tersebut.


Setiap kejadian seperti ini, saya selalu merasa sedih, padahal kita sudah berusaha semaksimal mungkin. Anak-anak kecil sesekali kali jatuh sebetulnya juga tidak begitu masalah. Oleh karenanya setiap kali melihat ada orang tua murid yang marah mensikapi itu, hati saya terasa tidak nyaman.


Sungguh tak terduga ternyata peristiwa seperti ini juga menimpa diri saya sendiri. Pada suatu siang seorang guru anak saya dengan gugup dan tergesa-gesa mendatangi saya dan memberitahu, bahwa anak saya terjatuh dari pagar pelindung.


Melihat reaksi guru itu yang sangat kebingungan, saya merasa ingin marah, tampaknya luka tidak ringan. Melihat anak saya menangis dengan badan gemetaran kepalanya benjol besar dan hidungnya berdarah.


Pertama-tama yang ingin aku katakan adalah, “Bagaimana kalian menjaga anak-anak?” Untunglah sebelum terucap keluar, perasaan saya perlahan tenang kembali, ini adalah situasi yang biasa saya hadapi dan sekarang saya adalah ibu dari anak.


Harus bagaimana? Coba bayangkan jadi seorang guru tidaklah gampang, kita adalah sesama guru, masak tidak bisa memahami mereka? Menjaga seharian anak-anak, hanya sekejab terlewatkan, anak sudah mendapatkan masalah. “Tidak masalah, tidak masalah, anak-anak memang begitu,” kata-kata menghibur keluar dari mulutku, secara wajar, sangat tenang, guru itu juga sudah merasa agak tenang, saya kembali menghiburnya dengan beberapa kata, dia rasanya ingin menangis terharu.


Banyak cerita terjadi. Hanya diriku sendiri yang harus berbesar hati dan memahami sehingga membuat saya berubah banyak sekali. Juga mengerti kita jadi orang harus menempatkan diri sendiri pada posisi orang lain.


Sumber: Yezi/Epochtimes

07 Februari 2009

Kebajikan yang Tulus Mengubah Musuh Menjadi Teman

Jika seseorang memiliki hati dengki atau iri yang sangat kuat, juga egoisnya sangat luar biasa, dia akan sangat mudah menjadikan banyak temannya berubah menjadi musuh. Namun ketika mereka merasakan dirinya telah menimbulkan banyak musuh, banyak orang tidak mengerti harus bagaimana berbuat agar dapat mengubah semua musuhnya itu menjadi teman. Sebenarnya ketulusan dan kebajikan adalah perilaku dasar sebagai manusia, dari ketulusan dan niat baik yang berpadu akan terbentuk menjadi suatu hati kebaikan yang murni, ini sudah lebih dari cukup untuk menguraikan segala dendam yang ada di dunia ini, juga bisa dengan mudah mengubah musuh menjadi teman.


Pada tahun 1754, ketika itu George Washington sudah berpangkat kolonel. Dia sedang memimpin pasukannya dalam tugas garnisun di Kota Alexander. Hari itu bertepatan dengan hari pemilihan anggota kongres di parlemen negara bagian Virginia. Ada seseorang yang bernama William Bent sedang menentang seorang kandidat yang didukung oleh Washington.


Suatu hari, Washington mengadakan jajak pendapat dengan Bent mengenai masalah pemilihan umum ini dan dalam acara itu telah terjadi perdebatan yang sangat seru, dan Washington mengeluarkan kata-kata kotor yang sangat menusuk telinga. Mendengar perkataan itu, Bent sangat gusar, dengan penuh emosi dia mengayunkan tinjunya memukul Washington hingga jatuh ke lantai. Ketika berita ini terdengar oleh prajuritnya, mereka berdatangan dan ingin membela pemimpin mereka atas pukulan itu, ketika itu Washington mencegah mereka dan meyakinkan mereka agar dengan tenang mundur kembali ke barak.


Keesokan paginya, Washington mempercayakan seseorang untuk membawakan secarik kertas catatan kepada Bent, yang bertuliskan: “Mohon Anda secepatnya ke sebuah bar setempat untuk bertemu.” Dengan ekspresi muka yang sangat tegang Bent datang ke bar itu, dia mengira pasti terjadi suatu perkelahian sengit. Tapi di luar dugaannya, yang menyambutnya bukan sebuah pistol melainkan segelas bir persahabatan. Washington berdiri dengan wajah tersenyum, menjulurkan tangan atas kemauannya sendiri menyambut kedatangannya, juga dengan tulus hati berkata kepadanya, “Tuan Bent, siapa orang yang tak pernah berbuat kesalahan, mengetahui kesalahan dan bisa segera diubah adalah orang yang berbakat luar biasa. Masalah kemarin, sesungguhnya adalah kesalahan saya. Anda telah melakukan tindakan yang telah menyelamatkan muka Anda, jika Anda merasakan tindakan itu sudah cukup, silahkan Anda sambut tangan saya ini untuk berjabat tangan, marilah kita menjadi teman.”


Setelah pergolakan ini reda dalam suasana persahabatan, sejak saat itu pula Bent telah menjadi pengagum sejati Washington. Di dalam pergolakan ini, Washington telah memperlihatkan tingkat mentalitas yang luar biasa sebagai pencerminan bagi manusia awam. Orang yang berpandangan picik hanya bisa menggunakan cara yang ekstrim yaitu ‘melakukan pembalasan yang setimpal,’ yang akhirnya hanya akan memperbesar sakit hati, musuh akan semakin banyak. Orang yang berlapang dada mengerti akan memaafkan, sabar dan mengalah, dengan hati kebaikan yang murni memancarkan cahaya kehidupan, adalah alat pengurai dendam atau sakit hati yang paling efektif.


Sumber: The Epochtimes