26 Juli 2009

Duka Si Burung Merak

Suatu ketika di saat sedang bekerja, mendadak seorang teman berkata dengan misterius: “Bagaimana kalau kita lakukan suatu tes psikologi?” “Boleh, katakan saja,” saya merasa aneh dan juga ingin tahu. “Dengarkan baik-baik,” katanya, “ada lima ekor binatang, yaitu harimau, kera, merak, gajah dan anjing. Kamu membawa lima ekor binatang ini, pergi mengeksplorasi hutan primitif yang belum pernah kamu datangi. Lingkungan sekitar sangat berbahaya, sehingga tidak memungkinkan kamu membawa mereka sampai akhir dan terpaksa kamu harus melepaskan mereka satu per satu. Dengan urutan bagaimanakah kamu melepaskan binatang tersebut?”


Berpikir cukup lama lalu saya berkata: “Merak, harimau, anjing, kera dan gajah.” “Ha, ha, ha,…,” temanku tertawa terbahak-bahak, lalu berkata: “Ternyata jawabanmu tidak jauh dari dugaanku, kamu juga melepaskan merak lebih dulu, tahukah kamu merak itu melambangkan apa?” Sang teman menjelaskan padaku: “Merak mewakili suami/istri atau kekasih; harimau mewakili keinginan kuasa dan kekayaan; gajah mewakili orangtua; anjing mewakili teman dan kera mewakili anak.” Jawaban dari pertanyaan ini adalah mencerminkan apa yang pertama akan kamu korbankan di kala kamu menemui kesulitan. Coba kamu lihat sendiri orang macam apakah kamu ini.”


Merak mewakili kekasih? Saya sangat terkejut. Apakah dalam keadaan susah yang pertama saya lepaskan adalah kekasih saya? Benarkah saya termasuk golongan orang macam begitu? Disodori pilihan, mengapa saya pertama melepas merak? Karena saya merasa meraklah yang paling tidak dapat menolong saya bila saya dalam keadaan susah.


Saya tidak setuju dengan penilaian teman ini, maka saya mencari orang lain untuk ikut dalam permainan itu. Sama seperti yang dikatakan oleh teman saya, hampir semua orang selalu melepaskan merak pada urutan pertama. Di saat terakhir saya mengungkapkan jawaban, banyak reaksi orang yang sama dengan saya, bahkan ada pula yang berkata: ”Orang yang menciptakan permainan ini pasti bukan orang normal.”


Pada suatu hari ketika saya menelepon seorang teman, mendadak terpikir soal permainan ini, lalu meminta teman ini untuk menjawab. Teman ini setelah berpikir lama lalu berkata: “Kera, harimau, gajah, anjing, merak.” Saya amat terkejut, dialah satu-satunya orang yang memilih terakhir melepas merak. “Mengapa terakhir melepas merak?” saya bertanya dengan amat terperanjat. Sebaliknya, dia amat kaget dengan pertanyaanku, dan berkata: “Coba kamu pikirkan, di antara lima binatang tersebut, hanya meraklah yang paling tidak mampu menjaga diri sendiri. Bagaimana mungkin saya melepaskannya, membiarkan dia terperangkap sendirian dalam lingkungan yang berbahaya.”


Saya segera mengerti kesedihan saya. Dalam proses menentukan pilihan, kita selalu menuntut apa yang dapat diberikan oleh orang lain terhadap diri kita, tanpa pernah memikirkan apa yang orang lain butuhkan dari diri kita.


Sumber: Tabloid Era Baru, Tahun Ke-1 No. 9

12 Juli 2009

Belajar dari Tumpukan Batu

Setelah tamat dari universitas tidak berapa lama, aku ditugaskan di sebuah kota kecil kawasan hutan terpencil sebagai guru, gajinya sangat kecil. Sebenarnya aku mempunyai kelebihan yang tidak sedikit, keterampilan dasar mengajar cukup baik, dan mempunyai keahlian khusus menulis karangan. Kemudian, di satu sisi aku mengeluh pada takdir yang tidak adil, dan pada sisi lainnya merasa iri dengan orang-orang yang memiliki pekerjaan terhormat, menerima gaji yang tinggi. Jika demikian, bukan hanya sudah tidak bergairah terhadap pekerjaan, bahkan untuk menulis karangan juga sudah tidak berminat lagi. Seharian penuh, aku terus memperindah karangan, membayangkan bisa mempunyai kesempatan untuk memilih sebuah lingkungan kerja yang baik, dan juga menerima imbalan yang besar.

Begitulah waktu dua tahun telah berlalu dengan cepat, pekerjaan yang kulakukan sendiri tidak keruan, dalam karang-mengarang juga tidak ada hasil apa-apa. Sementara itu, aku telah mencoba memadukan beberapa bagian yang kusukai sendiri, namun pada akhirnya tidak ada satu pun yang menerimaku.

Lalu, muncullah tanpa sengaja sebuah masalah kecil yang sepele, tapi mampu mengubah nasib yang selama ini memang ingin kuubah.

Pada hari itu, sekolah menyelenggarakan pekan olahraga, di kota kecil yang sangat kekurangan aktivitas kebudayaan ini, sudah pasti merupakan suatu hal yang besar, oleh karenanya, orang yang datang untuk melihat sangat banyak. Sekeliling lapangan olahraga yang tidak begitu luas dengan cepat telah membentuk lingkaran tembok manusia hingga angin tak bisa berembus. Aku datang terlambat, berdiri di balik tembok manusia, menjungkitkan kaki juga tidak bisa melihat suasana yang ramai di dalamnya. Pada saat demikian, seorang bocah lelaki pendek yang berada di samping telah menarik perhatianku. Hanya melihat dia sekali demi sekali memindahkan batu bata dari tempat yang tidak jauh, di balik tembok manusia yang tebal itu, dengan sabar membangun sebuah pijakan, setingkat demi setingkat, tak kurang dari setengah meter tingginya. Aku tidak tahu sudah berapa banyak waktu yang digunakannya untuk membangun “panggung” ini, dan juga tidak tahu sudah berapa banyak pertandingan seru yang terlewatkan, namun saat dia naik ke atas pijakan yang dibangunnya, ia mengarah kepadaku sambil tersenyum berseri-seri. Kegirangan dan rasa bangga atas keberhasilan itu, tampak demikian jelas di wajahnya.

Sekilas, hatiku terguncang sejenak, masalah yang demikian sederhananya: “Jika ingin melintasi tembok manusia yang padat untuk dapat melihat pertandingan yang seru, cukup ganjalkan saja batu bata yang agak banyak di bawah kaki.”

Sejak saat itu, dengan penuh semangat aku mulai bekerja dengan sungguh-sungguh, selangkah demi selangkah. Dan dalam waktu yang singkat, aku telah menjadi juru didik terkenal. Berbagai jenis susunan bahan pelajaran terbit terus-menerus, dan berbagai macam kehormatan yang membuat orang iri berturut-turut jatuh ke tanganku. Di waktu luang, aku tidak berhenti menulis karangan, berbagai macam karya sastra kerap kali dimuat di surat kabar, menjadi orang yang secara khusus menyumbangkan karangan ke banyak penerbitan. Kini, aku telah bertugas di sekolah menengah kejuruan dan dimutasi ke tempat yang kusukai sendiri.

Sebenarnya, seseorang yang memiliki cita-cita asal saja tidak takut susah, secara diam-diam “mengganjal batu bata yang agak banyak di bawah kaki sendiri,” maka pasti bisa melihat pemandangan yang ingin dilihat sendiri, memetik buah hasil kesuksesan itu yang digantungkan ke tempat yang tinggi.

Sumber: www.dajiyuan.com