Keesokan paginya, sang ayah melihat si anak pemurung sedang menangis tersedu-sedu lantas bertanya: “Kenapa, apa tidak menyukai mainan baru itu?” Anak itu dengan lugu menjawab, “Kalau mainan
Sehari kemudian, sang ayah memberi kedua anak tersebut masing-masing minuman ½ botol, si anak pemurung tidak mau meminumnya, karena ia melihat hanya tinggal ½ botol saja. Sedang si anak periang mengangkatnya dengan gembira, “Sangat bagus! Masih ada ½ boto!”
Keduanya berbeda cara menyikapi kehidupan, satu anak adalah periang, yang lainnya pemurung. Ini telah menunjukkan sifat perbedaan dari cara berpikir umat manusia, yakni membagi segala hal menjadi dua sisi yang saling bertentangan, misalnya periang dan pemurung, memuji satu sisi, menghujat sisi lainnya. Manusia yang bersikap periang atau optimis, pada setiap situasi dan kondisi yang runyam kebanyakan akan menemukan peluang, sedangkan manusia yang bersikap pemurung atau pesimis, pada setiap peluang malah melihat sikon yang runyam. Ini dikarenakan dalam setiap optimisme kebanyakan terdapat bagian yang pesimis, dalam setiap pesimisme juga terdapat bagian dari optimisme, segala hal adalah berpadanan, hanya melihat manusianya mau berdiri di sisi yang mana.
Persoalannya, optimisme bisa membawa harapan kepada manusia, dapat membuat suasana hati manusia bergembira, dapat membuat manusia mengenali peluang, kenapa kita menolak optimisme? Kenapa senantiasa mau melihat sisi yang sangat runyam dari suatu permasalahan, sisi yang putus asa?
Sumber: Tabloid Era Baru, No. 07 Tahun Ke-3