21 September 2008

Saya Merasa Bangga Padamu

Hendak mengingat nama seseorang yang kukenal pada 43 tahun silam tidaklah mudah. Saya benar-benar telah lupa nama seorang nyonya tua ketika saya bekerja sambilan mengantar koran saat saya berusia 12 tahun. Namun sebuah pelajaran yang berkaitan tentang kerendahan hati, yang diberikannya pada saya, bagaikan baru terjadi kemarin.


Pada suatu senja di hari Sabtu, saya bersama dengan seorang teman yang berada di sebuah sudut yang tersembunyi di halaman belakang rumah nyonya tua itu melempar batu ke atap rumahnya. Kami bermaksud ingin mengamati bagaimana batu itu meluncur dari atas atap, lalu bagaikan komet yang turun dari langit dan jatuh ke halaman belakang.


Saya mendapatkan sebuah batu yang licin, dan melemparnya ke atas atap. Tetapi karena batunya terlampau licin maka terlepas dari tangan saya, langsung meleset mengenai sebuah jendela yang berada di koridor belakang rumah nyonya tua. Dan seiring dengan suara hancurnya kaca yang bersuara nyaring, kami segera angkat kaki dan berlari kencang, kecepatan larinya bahkan lebih cepat dibanding batu yang meluncur dari atas atap.


Pada malam hari itu, saya takut sekali, takut akan ditangkap oleh nyonya tua itu. Namun beberapa hari kemudian, saat saya pastikan perbuatan saya tidak diketahui, saya mulai merasa sangat menyesal atas kemalangannya. Setiap hari ketika saya mengantarkan koran padanya, ia tetap seperti dulu tersenyum dan memberi salam pada saya, namun saya tidak bisa seperti dulu lagi mengekspresikan diri secara alami di hadapannya. Ada perasaan bersalah dalam hati.


Saya bertekad mengumpulkan uang dari hasil mengantarkan koran. Tiga minggu kemudian, saya telah mempunyai 7 dolar, saya hitung uang ini dapat mengganti kerusakan kaca yang saya pecahkan itu. Saya menyelipkan uang dan selembar memo ke dalam amplop, di atas memo itu dijelaskan saya merasa sangat menyesal atas kacanya yang saya pecahkan, semoga uang ini dapat mengganti kerugian untuk perbaikan kaca jendelanya.


Saya menanti hingga menjelang malam, dan secara diam-diam menuju ke pintu rumahnya, menyelipkan surat di antara celah-celah pintu. Saya merasa batin diri saya bisa tertolong, dan saya sepertinya mendapatkan kebebasan kembali, saya tidak perlu menghindari pandangan mata si nyonya tua itu lagi.


Pada hari ke-2, ketika saya mengantar koran padanya, bisa kembali tersenyum membalas senyumannya yang hangat dan lembut. Ia mengucapkan terima kasih pada saya atas koran yang diantar untuknya, serta mengatakan: “Saya mempunyai sesuatu untukmu”. Dan itu adalah sebungkus roti. Setelah saya berterima kasih padanya, sambil mengantar koran saya menikmati roti yang diberinya.


Setelah makan beberapa keping roti, saya mendapati di dalamnya ada selembar surat. Saya mengambil surat itu. Dan ketika saya membuka amplop surat itu, saya tertegun. Di dalamnya ternyata 7 dolar dan sehelai memo, di atasnya tertulis: “Saya merasa bangga padamu.”


Artikel: Jerry Harpt, www.xinsheng.net