18 Mei 2009

Berhati Baik

Apa yang paling berharga dalam kehidupan manusia. Yang dikatakan Yuguo adalah benar; suatu kebaikan. “Kebaikan adalah mutiara langka dalam sejarah, orang yang baik hampir lebih baik dari orang yang mulia.” Orang yang baik selalu menyebarkan sinar matahari dan embun, mengobati luka hati dan jiwa manusia. Berinteraksi dengan orang yang berhati baik, kearifan akan mendapatkan inspirasi, jiwa menjadi bermoral tinggi dan lebih berhati lapang.


Sewaktu saya masih sekolah di SLTP, beruntung mempunyai seorang guru yang berhati baik. Pada “zaman kediktatoran” saat itu, saya yang masih berusia 14 tahun, sangat takut akan satu hal, yaitu “mengisi formulir.” Terhadap kolom “asal usul keluarga,” saya selalu merasa ketakutan dan malu, menundukkan kepala seperti orang yang kedapatan berbuat salah, dua huruf “youpai (golongan kanan)” ditulis sekecil semut. Pada suatu saat, teman sebangku dengan sengaja berteriak keras: “Mengapa pada kolom ini tulisannya begini kecil.” Guru datang mendekat, diambil dan dilihatnya formulirku, berkata dengan tenang, “Tulisanmu sangat rapi, jangan hiraukan dia.” Saya duduk, sambil menghapus air mata terharu, dalam hati berkata: “Guru sangat baik.”


Sebenarnya pada masa itu, kekejian dalam “perang kelas sosial” sudah menjadi kebiasaan layaknya udara yang mengalir. Kebaikan di dalam kehidupan manusia sudah hampir lenyap, apa yang disebut sahabat, cinta kasih, semuanya sudah terguling diterjang ombak ganas. Di masa remaja, saya juga pernah membenci ayah saya tanpa alasan yang jelas. Demi untuk naik kelas, di bawah godaan “mengutamakan penampilan” menulis secarik surat yang membongkar perbuatan kontra revolusioner yang dilakukan oleh ayah kepada guru. Seumur hidup tak akan saya lupakan malam setelah selesai mengerjakan PR itu, guru mengajak saya mengobrol di bawah pohon. Guru berkata: “Di dalam hati setiap orang, terdapat dua singa jahat dan baik yang berebut hati nurani. Bila hati nurani sudah ditelan singa jahat, maka seumur hidupnya tidak akan tertolong lagi. Anakku, pikirkan dengan baik, setiap saat haruslah berhati baik, jangan sampai melakukan hal yang akan kamu sesali seumur hidupmu.” Beliau mengembalikan suratku, dibelainya kepalaku sambil berkata: “Apa yang tertulis dalam surat ini adalah kata-kata yang dipersiapkan orang lain agar kamu menuliskannya, sama sekali bukanlah kata hatimu, kesalahanmu adalah karena ketidaktahuanmu, bukan kemunafikan.”


Sekejap saja tiga puluh tahun telah berlalu, kini setiap kali saya mendekati ayah saya yang menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi, mendengarkan ajarannya, merasakan cinta kasih dari ayah, saya teringat pada guru yang baik hati itu, adalah karena kebaikan hati yang beliau miliki, maka jiwa saya pun terselamatkan, kebaikan hati adalah mataharinya semangat dunia!


Sumber: Tabloid Era Baru, No. 4 Tahun Ke-1