15 Februari 2009

Seorang Ibu dan Seorang Guru

Saya bekerja di sebuah sekolah Taman Kanak-kanak, dan mendapat fasilitas yang istimewa, yaitu setiap hari boleh membawa “bayi kecilku”. Peranku setiap saat dapat berubah-ubah, sesaat menjadi ibu seorang anak, sesaat lagi menjadi guru. Jadi kisah hidupku menjadi lebih beragam….


Suatu pagi ketika saya hendak membalikkan tubuh meninggalkan anak saya, saya melihat matanya terus menatap saya dengan kelopak mata yang penuh air mata, tetapi belum sampai menetes. Entah mengapa saat itu saya juga tidak bisa menguasai diri, tak terasa air mataku mengalir keluar. Melihat dia masih begitu kecil berdiri di sana, maka saya tak kuasa menahan air mata.


Setelah cukup lama bergulat dengan perasaan ini, dengan memaksakan diri, saya kembali ke kelas tempat saya mengajar, akan tetapi perasaan ini berubah perlahan menjadi tenang kembali. Kebetulan di dalam kelas, ada seorang anak sedang menangis dan menarik tangan ibunya, si ibu itu serba salah, pergi meninggalkan salah, tidak pergi juga salah.


Apabila hal ini terjadi dahulu, dalam hati sedikit banyak pasti ada perasaan jengkel dan rasa menyalahkan ibu dan anak. Tetapi kini, saya bisa memahami perasaan ibu itu. Lalu saya maju menghampiri mereka, dengan perlahan-lahan saya angkat anak laki-laki itu, lalu saya dekap dalam pelukan, dengan suara pelan saya menenangkannya. Si anak masih terus menangis, tetapi sang ibu sudah bisa melepaskan tangannya dan pergi, sebelum pergi si ibu memandang saya dengan penuh terima kasih. Saya mengerti, dia juga mengerti. Dalam sekejab itu perasaan sesama ibu bisa saling mengerti.


Sekolah Taman kanak-kanak di Selandia Baru selama ini terkenal karena teknik pengajarannya lebih hidup dan penuh semangat. Kami sebagai guru, tanggung jawab kami juga tidaklah ringan, tidak hanya mengurusi sandang pangan, akan tetapi masih harus mengerjakan setumpuk laporan pekerjaan.


Setiap hari dari pagi hingga malam tidak bisa santai, kadang juga dibuat pusing kepala oleh anak anak. Anak berusia 3 – 4 tahun biasanya berlari ke sana kemari, kadang-kadang bisa terjatuh, dan tidak dapat dihindari harus melihat ekpresi wajah orang tua murid tersebut.


Setiap kejadian seperti ini, saya selalu merasa sedih, padahal kita sudah berusaha semaksimal mungkin. Anak-anak kecil sesekali kali jatuh sebetulnya juga tidak begitu masalah. Oleh karenanya setiap kali melihat ada orang tua murid yang marah mensikapi itu, hati saya terasa tidak nyaman.


Sungguh tak terduga ternyata peristiwa seperti ini juga menimpa diri saya sendiri. Pada suatu siang seorang guru anak saya dengan gugup dan tergesa-gesa mendatangi saya dan memberitahu, bahwa anak saya terjatuh dari pagar pelindung.


Melihat reaksi guru itu yang sangat kebingungan, saya merasa ingin marah, tampaknya luka tidak ringan. Melihat anak saya menangis dengan badan gemetaran kepalanya benjol besar dan hidungnya berdarah.


Pertama-tama yang ingin aku katakan adalah, “Bagaimana kalian menjaga anak-anak?” Untunglah sebelum terucap keluar, perasaan saya perlahan tenang kembali, ini adalah situasi yang biasa saya hadapi dan sekarang saya adalah ibu dari anak.


Harus bagaimana? Coba bayangkan jadi seorang guru tidaklah gampang, kita adalah sesama guru, masak tidak bisa memahami mereka? Menjaga seharian anak-anak, hanya sekejab terlewatkan, anak sudah mendapatkan masalah. “Tidak masalah, tidak masalah, anak-anak memang begitu,” kata-kata menghibur keluar dari mulutku, secara wajar, sangat tenang, guru itu juga sudah merasa agak tenang, saya kembali menghiburnya dengan beberapa kata, dia rasanya ingin menangis terharu.


Banyak cerita terjadi. Hanya diriku sendiri yang harus berbesar hati dan memahami sehingga membuat saya berubah banyak sekali. Juga mengerti kita jadi orang harus menempatkan diri sendiri pada posisi orang lain.


Sumber: Yezi/Epochtimes